Ahad 20 Sep 2020 14:42 WIB

'Pilkada Bisa Lanjut Meski Komisioner KPU Positif Covid-19'

Positif Covid-19 tidak lantas melumpuhkan organisasi atau pemerintahan.

Rep: Febrianto Adi Saputro/ Red: Ratna Puspita
Direktur Puskapol UI - Aditya Perdana
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Direktur Puskapol UI - Aditya Perdana

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI) Aditya Perdana menilai pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak 2020 masih tetap bisa dilanjutkan meski sejumlah komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI telah dinyatakan positif covid-19. Apalagi, Ketua KPU Arief Budiman menyatakan bisa bekerja secara online.

"Kemudian Mas Pram (komisioner KPU) juga mengatakan begitu ya, artinya kalau saya sih menganggap begini, kan sudah banyak juga cerita kasus orang-orang yang terkena covid gitu ya, misalkan perdana menteri Inggris pada waktu itu, atau para menteri yang memang dia kemudian memutuskan isolasi, apakah kemudian dengan orang pejabat publik yang positif covid lalu pemerintahan harus berhenti berjalan? kan nggak juga," kata Aditya saat dihubungi Republika, Ahad (20/9).

Baca Juga

Ia menambahkan, apalagi yang terkena covid-19 adalah komisioner di tingkat pusat, sementara pilkada sendiri diselenggarakan di daerah. Sehingga, menurutnya, tidak tepat jika mendesak agar pilkada ditunda dengan alasan para komisioner KPU terkena covid-19.

Ia juga mengatakan, ketika seseorang divonis positif covid-19, yang bersangkutan masih bisa beraktivitas seperti biasa dan hanya perlu melakukan isolasi mandiri. Sehingga, menurutnya, hal tersebut tidak perlu ada yang dikhawatirkan.

"Jadi artinya dari sisi itu kita harus bisa pahami ya orang yang terkena positif covid itu kemudian bukan ternyata melumpuhkan organisasi atau pemerintahan atau institusi pemerintahan. Dan nggak juga logika itu kan nggak sampai sejauh itu juga kita lihat," ujarnya.

Selain itu, Aditya juga mempertanyakan hal apa saja yang menjadi indikator untuk menunda pilkada. Menurutnya, sejumlah pihak yang mendorong penundaan pilkada selama ini dinilai tidak kuat dan tidak berdasar. 

Ia mencontohkan, indikator yang dimaksud misalnya penundaan bisa dilakukan berdasarkan zonasi, maka daerah-daerah di luar zona merah tetap bisa melangsungkan pilkada. Kemudian Aditya menjelaskan, contoh indikasi lainnya yaitu dengan melibatkan satgas covid bersama dinas kesehatan setempat untuk menentukan status zonasi tersebut.

"Jadi ruang-ruang itu mestinya kita bisa buka untuk mengatakan ukuran-ukuran penundaan pilkada itu bagaimana, jangan kemudian kita berkesimpulan langsung tunda saja pilkada kan tanpa ada dasar yang juga kuat mengatakan itu, itu yang saya sayangkan argumen-argumen yang mengatakan tunda pilkada tapi alasan-alasan di balik untuk menunda itu masih belum kuat, ukurannya nggak ada," ungkapnya.

Ia memahami semua pihak punya kekhawatiran yang sama bahwa pilkada dapat memunculkan klaster covid-19 baru. Namun, pemerintah bersama dengan DPR perlu juga mendiskusikan baik dengan para epidemiologi, dan satgas covid untuk menentukan ukuran apa saja yang bisa dipakai untuk menunda pilkada.

"Jangan jumping conclusion, tunda pilkada tapi kita nggak punya ukurannya. Sama saja kayak kemarin, dasarnya harus jelas dulu," tuturnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement