REPUBLIKA.CO.ID, Upaya umat Islam Palestina untuk menggalang dunia internasional pernah dilakukan secara intens. Baik ke negara dengan penduduk mayoritas Islam ataupun non-Muslim.
Hal ini sebagaimana dilakukan delegasi yang terdiri dari muftif Jamal Al-Husseini, seorang mufti Haifa, Imam Mohamed Rashid Reda, dan Syekh Ibrahim al-Ansari, seorang pengkhutbah di Temple Mount (Haram asy-Syarif). Mereka tetap di India dari November 1923 hingga Juni 1924. Di sana, mereka mengumpulkan uang dan terlibat dalam aktivitas anti-Zionis.
Namun demikian, Nicholas E Roberts (Associate Profesor di bidang sejarah dan salah satu ketua program Studi Global dan Internasional di Sewanee), mengabaikan delegasi 1922 tersebut. Demikian juga halnya dengan Yehoshua Porath, sejarawan Israel dan profesor dalam sejarah Timur Tengah, meskipun dia memasukkan delegasi keempat pada 1924.
Dari aktivitas para delegasi tersebut, sejumlah besar dana terkumpul untuk pekerjaan renovasi besar dan konstruksi di dalam kompleks Haram Asy-Syarif. Program amal tersebut merupakan instrumen penting yang mengikat umat Islam di seluruh dunia dalam perasaan religius dengan Arab Palestina, serta bertindak sebagai alat mobilisasi politik.
Sementara itu, Meddad menyebut bahwa pemilihan India sebagai negara tujuan delegasi tersebut dipandang sangat cerdik. Seperti yang diteliti PR Kumaraswamy, India cukup mampu mengenali dan mengakui dimensi religius dari masalah Palestina.
Pada April 1921, setahun sebelum pengukuhan Mandat Palestina di Liga Bangsa-Bangsa, Mahatma Gandhi mengamati bahwa, "Kaum Muslim mengklaim Palestina sebagai bagian integral dari Jazirat-ul-Arab (tanah Islam di Arab). Mereka terikat untuk mempertahankan hak asuh, sebagai perintah Nabi."(CWMG, 2000, hlm. 530).
Dia melanjutkan dan berargumen, "Orang Yahudi tidak dapat menerima hak berdaulat di tempat yang telah dikuasai selama berabad-abad oleh kekuatan Muslim dengan hak penaklukan agama. Tentara Muslim tidak menumpahkan darah mereka dalam perang terakhir dengan tujuan menyerahkan Palestina di luar kendali Muslim."
Dengan kata lain, menurut Gandhi, non-Muslim tidak bisa memperoleh yurisdiksi berdaulat atas Palestina. Kongres Nasional India juga mengadopsi sikap anti-Zionis pada pertemuan di Lucknow pada Juni 1921. Komite Kongres Seluruh India menyatakan bahwa "kecuali Jazirat-ul-Arab dibebaskan dari semua kendali non-Muslim, tidak akan ada perdamaian dan kepuasan di India" (Zaidi, 1985, hlm. 30). Beberapa tahun kemudian, partai tersebut menuntut penghapusan kendali asing dari Jazirat-ul-Arab" (Zaidi, 1985, hlm. 32).
Mufti Haj Amin El-Husseini bertemu Ali Bersaudara selama ibadah Haji 1924 dan 1926 (Kupferschmidt, 1987, p. 129), saat menguburkan Muhammad Ali, kepala Muslim India, di tembok Haram pada Januari 1931. Shaukat (Shawkat) Ali adalah tokoh sentral dalam penyelenggaraan Konferensi Yerusalem pada Desember tahun yang sama.
Karena itu, dalam satu dekade terpilih oleh Herbert Samuel untuk menjadi Mufti, El-Husseini telah membangun basis keuangan yang kokoh di seluruh Timur Tengah dan sekitarnya.
Dia juga telah menciptakan kekuatan politik yang dominan dalam Mandat itu sendiri yang melarang perbedaan pendapat dari garis kekerasan dan ekstremisnya. Langkah Mufti tersebut telah memaksa Inggris untuk menciptakan status quo baru di Tembok Barat.
Sumber: https://www.jns.org/opinion/reversing-a-century-of-pan-islamic-anti-zionism/