Senin 21 Sep 2020 09:59 WIB

Volatilitas IHSG Tinggi di Awal Pekan

Pentimen utama masih berasal dari pemberlakukan kembali PSBB DKI Jakarta.

Rep: Retno Wulandhari/ Red: Friska Yolandha
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Senin (21/9) sempat dibuka di zona merah sesaat sebelum menguat ke zona hijau. Tidak bertahan lama, IHSG kembali merosot ke zona merah dan melemah ke posisi 5.048,62.
Foto: ADITYA PRADANA PUTRA/ANTARA
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Senin (21/9) sempat dibuka di zona merah sesaat sebelum menguat ke zona hijau. Tidak bertahan lama, IHSG kembali merosot ke zona merah dan melemah ke posisi 5.048,62.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pasar saham domestik bergerak variatif di awal pekan ini, Senin (21/9). Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sempat dibuka di zona merah sesaat sebelum menguat ke zona hijau. Tidak bertahan lama, IHSG kembali merosot ke zona merah dan melemah ke posisi 5.048,62. 

Direktur Anugerah Investama Sekuritas, Hans Kwee, mengatakan pada pekan ini IHSG akan berpeluang konsolidasi melemah. Menurutnya, sentimen utama masih berasal dari pemberlakukan kembali Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) secara total di DKI Jakarta. 

Baca Juga

"Dampak PSBB Total yang longgar tetap di perkirakan akan mengganggu aktivitas bisnis dan perusahaan," kata Hans dalam risetnya, Senin (21/9). 

Masih dari dalam negeri, Hans mengatakan, pasar saham domestik cukup mendapat dorongan positif dari keputusan Bank Indonesia (BI) yang mempertahankan suku bunga acuan. BI lebih mengutamakan stabilitas keuangan dalam mendukung perekonomian Indonesia dan mengindikasi Bank Sentral tetap independen. 

BI memastikan kepada pelaku pasar bahwa perjanjian burden sharing dengan pemerintah hanya untuk tahun 2020. Gubernur BI Perry Warjiyo juga mengatakan bahwa Presiden Joko Widodo dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati telah menjanjikan akan mempertahankan kebijakan moneter BI tetap independen. 

Data yang baik juga ditunjukkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) yang melaporkan neraca perdagangan Indonesia pada Agustus 2020. Pada periode tersebut neraca dagang kembali mencatatkan surplus sebesar 2,33 miliar dolar AS. Hans melihat kedua hal ini bisa membuat pasar keuangan menguat dan lebih stabil ke depannya. 

Meski demikian, Hans menilai, sentimen global masih memberikan tekanan yang besar terhadap pasar. Meningkatnya ketegangan antara pemerintah AS dan China menjadi perhatian pelaku pasar. 

Selain itu, koreksi pada sebagain saham teknologi masih menjadi penekan pergerakan pasar. Sudah hampir dua pekan saham-saham teknologi mengalami tekanan turun akibat kekhawatiran valuasi yang terlalu tinggi. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement