Oleh Fitriyan Zamzami, Ronggo Astungkoro
REPUBLIKA.CO.ID, INTAN JAYA -- Pada Sabtu (19/9) sekitar pukul 17.20 WIT, Pendeta Yeremia Zanambani, tertembak di Hitadipa, Distrik Hitadipa, Kabupaten Intan Jaya. Hanya itu yang disepakati pihak TNI dan kelompok separatis bersenjata Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB).
Selebihnya adalah klaim yang dilansir masing-masing pihak. Masing-masing lepas tangan atas penembakan yang menyebabkan hilangnya nyawa Pendeta Yeremia tersebut. Apa yang sebenarnya terjadi kemudian jadi kabur.
Republika.co.id menghubungi Yones Douw seorang aktivis yang mengumpulkan jejak peristiwa tersebut. Yang ia sampaikan lebih terperinci, sekaligus menampilkan wajah konflik yang selama ini luput dari sorotan pusat.
Yeremia, menurut Yones, adalah seorang pria berusia 68 tahun dan sudah berkeluarga. Ia memangku sejumlah jabatan di kampungnya. Antara lain pendeta Gereja Kemah Injil Indonesia (GKII), wakil ketua Klasis Hitadipa, kepala Sekolah Theologia Atas ( STA ) Hitadipa, dan penterjemah Alkitab bahasa Moni di Hitadipa. Moni adalah suku asal Yeremia.
Yang menimpa Yeremia, kata Yones, berawal pada 14 September lalu, pukul 11.00 WIT. Kala itu, TPNPB di bawah komando Karel Tipagau melalukan penyerangan di Kampung Mamba, Distrik Sugapa. Pengojek dan anggota TNI terbunuh dalam penyerangan itu, sementara lainnya mengalami luka-luka dan di evakuasi di Timika.
Pada 17 Sepetember 2020 pukul 10.30 WIT, pasukan yang dipimpin Karel Tipagau kembali membacok sampai mati seorang pengojek. Pihak TPNPB mengklaim pengojek tersebut merupakan informan TNI-Polri Bilogai Kumbalagupa, Distrik Sugapa.
Atas serangan beruntun itu, pada 18 Sepetember 2020 pukul 6.00 WIT, TNI beberapa kali menerjunkan pasukan dengan dua helikopter di Hitadipa dan Sugapa melalui Bandara Enarotali Papua.
Kemudian pada 19 September 2020, pukul 13.17 WIT, bertempat Hitadipa terjadi Kontak tembak antara Satgas BKO Apter Koramil Persiapan Hitadipa dengan TPNPB. Pratu Dwi Akbar Utomo (Yonif 711/RKS/Brigif 22/OTA, DAM XIII/MDK) dan senjatanya di bawah lari TPNPB. Sejumlah pasukan juga terluka dan dievakuasi ke Nabire .
Selepas itu, menurut Yones, pada 15. 20 WIT, pihak TNI POLRI menghimbau kepada kepada TPNPB dan masyarakat asli papua di Hitadipa dan Homeo segera mengembalikan dua pucuk senjata yang di rampas dengan ancaman operasi Penyisiran.
Pada waktu-waktu itu, sekitar pukul 17.20 WIT, menurut Yones, Pendeta Yeremia Zanambani bersama istrinya pergi ke peternakan babi tak jauh dari kediaman mereka untuk memberi makan. “Setelah itu istrinya mengajak Pendeta Yeremia untuk pulang ke rumah. Namun, Pendeta Yeremia mengatakan saya masih menunggu babi ini selesai makan dulu. Pendeta bilang sama istrinya ‘Mama pulang dulu’, sehingga istrinya mulai pulang ke rumah duluan,” tutur Yones kepada Republika.co.id, Senin (21/9).
Sewaktu berjalan pulang, sang istri sempat bersirobok dengan sejumlah prajurit TNI menuju lokasi suaminya. Pendeta Yeremia tak pernah kembali ke rumahnya setelah itu.
Keesokan harinya, pada 20 September 2020, pukul 7.30 WIT, keluarga yang kebingungan karena Yeremia tak kunjung pulang menyusul ke kandang. “ Keluarga korban mendapatinya dalam kondisi tidak bernyawa dan berlumuran darah. Setelah itu keluarga korban bawa mayatnya ke Hitadipa untuk di makamkan jenazahnya,” ujar Yones. Warga melaporkan ada luka tikam dan bekas tembakan di tubuh Yeremia.
Akibat kejadian tersebut, warga di Distrik Hitadipa saat ini hidup dalam ketakutan. “Selesai pemakaman Pendeta Yerimia, para mama-mama dan masyarakat yang sisa akan mengungsi ke Sugapa. Sebagaian besar masyarakat sudah mengungsing di daerah-daerah yang sekitarnya yang di anggap aman,” kata Yones.
Ia menurutkan, ada kesaksian dari warga setempat bahwa Pendeta Yeremia sempat ditemui pasukan TNI sebelum ditemukan meninggal pagi harinya. “TNI melihat pendeta lagi tunggu babi lagi makan, TNI tidak tanya-tanya langsung ditikam dengan alat tajam. Sesudah itu Pendeta Yeremia ditembak,” kata Yones.
Menurutnya, warga juga mengklaim bahwa Pendeta Yeremia sama sekali tak terkait dengan penyerangan yang dilakukan separatis bersenjata. “Dia bukan pengacau, bukan juga pembunuh TNI dan bukan mengambil senjata milik TNI,” ujar Ketua Departemen Keadilan dan Perdamaian Gereja Kingmi tersebut.
Sebelumnya, Kepala Penerangan Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Kapen Kogabwilhan) III, Kol Czi IGN Suriastawa, mengatakan, Pendeta Yeremia meninggal dunia karena serangan yang dilakukan oleh kelompok kriminal separatis bersenjata (KKSB). "Kejadian ini menambah daftar panjang korban keganasan KKSB Papua yang sedang mencari perhatian menjelang Sidang Umum PBB tanggal 22-29 September mendatang," ujar Suriastawa dalam keterangan pers, Senin (21/9).
Karena itu, rangkaian kejadian beberapa waktu terakhir ia sebut sebagai rekayasa yang dilakukan KKSB untuk kemudian diputarbalikkan bahwa TNI menembak pendeta. "Harapan mereka, kejadian ini jadi bahan di Sidang Umum PBB. Saya tegaskan, bahwa ini semua fitnah keji dari KKSB," tutur dia.
Komadan Operasi umum Militer TPNPBse Tanah Papua Mayor Jenderal Lekagak Telenggen sebelumnya memang menuding TNI melakukan pembunuhan terhadap Pendeta Yeremia. Tak hanya itu, pembunuhan, menurutnya dilakukan di depan "puluhan warga". Klaim itu tak benar, merujuk penelusuran Yones Douw.
Apapun yang sebenarnya terjadi, Ketua Umum Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI), Pendeta Gomar Gultom, menyatakan mengecam keras penembakan yang menewaskan Pendeta Yeremia. Menurut Gomar, Majelis Pekerja Harian (MPH) PGI tengah mendalami kejadian tersebut.
"Berdasarkan laporan dari pimpinan GKII serta media Papua, diduga ditembak oleh pasukan TNI dalam suatu operasi militer, Sabtu (19/9) saat beliau hendak ke kandang babinya," ujar Gomar saat dikonfirmasi, Senin (21/9).
Sementara itu, dia juga mendapat informasi dari media massa yang memberitakan hal itu adalah ulah KKSB. Kejadian itu, kata dia, selain menyebabkan duka mendalam, juga membuat tujuh hingga delapan jemaat lokal kini kosong karena semua ketakutan dan lari ke hutan.
Ia menuntut Presiden Joko Widodo memerintahkan kapolri mengusut kasus ini sampai tuntas dan membawanya ke ranah hukum. "Satu nyawa orang Papua pun sangat berharga seturut dengan amanat konstitusi RI, terlebih di hadapan Tuhan," ungkap Gomar.