Senin 21 Sep 2020 18:58 WIB

Kadin Nilai Insentif Untuk Energi Terbarukan Kurang Menarik

Kadin menilai perlu ada payung hukum lebih besar untuk atur energi terbarukan

Rep: Intan Pratiwi/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Pekerja tengah menegecek panel surya di atas gedung di Jakarta, Senin (31/8/2020). Pemerintah menyiapkan Peraturan Presiden (Perpres) terkait Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi dan dengan kebijakan ini diharapkan target 23 persen bauran energi di Indonesia bisa tercapai..
Foto: ANTARA/Reno Esnir
Pekerja tengah menegecek panel surya di atas gedung di Jakarta, Senin (31/8/2020). Pemerintah menyiapkan Peraturan Presiden (Perpres) terkait Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi dan dengan kebijakan ini diharapkan target 23 persen bauran energi di Indonesia bisa tercapai..

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kamar Dagang Industri menilai jika pemerintah ingin meningkatkan porsi energi terbarukan dalam bauran energi, pemerintah perlu melakukan perubahan besar besaran dari sisi aturan maupun insentif. Hal ini perlu dilakukan agar bisa menarik investor untuk masuk berinvestasi.

Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Energi Terbarukan dan Lingkungan, Halim Kalla menjelaskan lambatnya pengembangan energi terbarukan di Indonesia karena regulasi yang berubah ubah. Ia menilai selama ini regulasi hanya berdasarkan insiatif menteri yang menjabat saat itu. Ia menilai perlu ada payung hukum yang lebih besar untuk mengatur EBT ini.

"Hal ini mencerminkan kurangnya komitmen pemerintah sehingga kebijakan yang dikeluarkan tidak mendukung target tersebut," ujar Halim di Komisi VII DPR RI, Senin (21/9).

Halim menjelaskan dengan tidak adanya aturan yang lebih besar membuat komponen pendukung seperti pendanaan dan juga ketersediaan lahan tidak bisa dipastikan. Hal ini menjadi beban bagi investor sehingga perlu mengeluarkan dana yang tidak sedikit.

"Karena komitmen atas target yg rendah, maka penetapan harga di bawah tanpa menimbang IRR yg layak bagi pelaku usaha EBT dan ini berdampak pada turunya pelaku usaha di EBT," ujar Halim.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement