REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Salah satu penyebab lambatnya pengembangan energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia karena investasinya yang mahal. Investasi mahal ini dikarenakan belum adanya fleksibilitas instrumen keuangan dan juga sejumlah insentif yang dinilai belum memudahkan investor.
Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Energi Terbarukan dan Lingkungan, Halim Kalla menilai selama ini insentif fiskal yang diberikan pemerintah bagi pengembang EBT hanya berlaku di lima tahun pertama. Padahal, dalam jangka waktu lima tahun tersebut para investor juga belum bisa membukukan keuntungan.
"Kami lihat insentif yang tersedia kurang menarik," ujar Halim di Komisi VII DPR RI, Senin (21/9).
Misalnya pemberitan tax holiday dan tax allowance yang hanya lima tahun. Padahal, dalam lima tahun pertama, arus kas investor masih negatif, jadi seharusnya tidak perlu bayar PPh.
Halim juga menilai hal tersebut membuat perbankan melihat pengembangan EBT ini masih tinggi resiko. Tak jarang perbankan sulit mengeluarkan modal untuk pengembangan EBT.
IRR yang rendah kemudian memaksa para investor mematok harga yang tinggi. "Karena komitmen atas target yg rendah, maka penetapan harga di bawah tanpa menimbang IRR yg layak bagi pelaku usaha EBT dan ini berdampak pada turunnya jumlah pelaku usaha EBT," ujar Halim.