REPUBLIKA.CO.ID, Peta pengaruh Amerika Serikat (AS) di Timur Tengah diya berubah menyusul merebaknya revolusi di sejumlah negara Arab, seperti Mesir, Tunisia, Libya, Suriah, dan Yaman.
Bagi Amerika Serikat, revolusi Arab (yang biasa disebut kalangan Barat sebagai Arab Spring) merupakan kesempatan besar untuk meningkatkan peran di negara-negara yang haus akan demokrasi dan inovasi. Ini juga membuka peluang baru bagi Amerika Serikat untuk menyusun strategi aliansi baru.
Tidak diragukan, Washington terkejut dengan jatuhnya rezim Mesir dan Tunisia yang selama ini menjadi sekutu dekatnya. Revolusi di Mesir dan Tunisia sedikit banyak telah mengganggu hubungan antara kedua negara tersebut dan Amerika Serikat. Selain itu, revolusi juga membuka jalan bagi kelompok-kelompok Islam yang selama ini ditekan pemerintah untuk memimpin negara tersebut di bawah tatapan curiga Barat.
Meski demikian, hubungan antara Amerika Serikat dan negara-negara Teluk masih cukup baik. Negara-negara Teluk dan Amerika Serikat merupakan pasangan yang kompak dalam membangun kebijakan luar negeri. Karena, negara-negara Teluk maupun Amerika Serikat merasa khawatir dengan ambisi Iran untuk mengembangkan program nuklir.
Untuk itu, negara-negara Teluk menyediakan basis militer bagi Amerika Serikat, termasuk markas bagi kapal ang katan laut ke-5 AS di Bahrain. Hal ini merupakan bagian dari strategi Pentagon yang akan segera menarik pasukannya dari Irak pada akhir 2011.
Singkatnya, pengaruh Amerika Serikat di Timur Tengah mendapat pukulan telak menyusul mekarnya Arab Spring. Sebaliknya, pengaruh Amerika Serikat kian bersinar di negara-negara Teluk.
Direktur Pusat Studi Strategi di Kuwait Sami Alfaraj mengatakan, Amerika Serikat telah kehilangan teman yang mudah diprediksi gerakannya seperti mantan presiden Mesir Husni Mubarak. Namun, pada saat yang sama, kedekatan dengan aliansi Teluk semakin meningkat. “Jadi, memang ada perubahan bagi pengaruh Amerika Serikat,” katanya pada 2011 lalu.
Dipimpin negara superkaya, yakni Arab Saudi dan Qatar, para penguasa Teluk berupaya membangun pusat politik yang tertuju pada mereka. Serangan NATO di Libya melibatkan kontribusi pesawat tempur Qatar dan Uni Emirat Arab.
Enam negara blok Teluk juga terlibat mendorong Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh mengundurkan diri ketika itu sesuai tuntutan para pengunjuk rasa. Mereka juga menekan Presiden Suriah Bashar al-Assad agar melakukan hal yang sama (mundur). Padahal, rezim Suriah merupakan salah satu mitra penting Iran.
Dalam perkembangan ini, para penguasa Teluk menginginkan perubahan berhenti di perbatasan mereka sendiri. Maret lalu, pasukan keamanan yang dipimpin Saudi membantu tetangganya, Bahrain, dalam membela dinasti Suni yang telah berkuasa selama 200 tahun tanpa proses pemilihan agar tetap berdiri.
Pasukan keamanan tersebut membantu Bahrain dalam menghadapi para pengunjuk rasa pro reformasi di negara yang mayoritas warganya menganut paham Syiah itu. Maka, di sini terjadi standar ganda. Di satu sisi, mereka selalu mendengungkan demokrasi. Tetapi, saat kepentingan mereka terusik, mereka tak peduli dengan demokrasi itu sendiri.
Salah seorang mantan pejabat Kementerian Luar Negeri AS Nicholas Burns mengatakan, tak ada satu pun yang kebal terhadap gelombang perubahan. Kami akan terus menasihati agar negara-negara Teluk tetap berupaya melakukan reformasi, katanya.
Burns percaya, Arab Spring telah memberikan banyak pelajaran bagi para diplomat Amerika Serikat, utamanya dalam hal kesabaran dan perspektif. Menurutnya, Arab Spring merupakan buah dari peran Amerika Serikat selama bertahun-tahun, bahkan dekade di wilayah tersebut.