Selasa 22 Sep 2020 11:13 WIB

Bahrain: Kesepakatan dengan Israel tak Menentang Mana Pun

Bahrain sebut kesepakatan ini bertujuan menciptakan perdamaian di Timur Tengah

Rep: Antara/ Red: Christiyaningsih
 (Kiri ke kanan) Menteri Luar Negeri Bahrain Sheikh Khalid Bin Ahmed Al-Khalifa, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, Presiden AS Donald J. Trump dan Menteri Luar Negeri UEA Sheikh Abdullah bin Zayed bin Sultan Al Nahyan selama upacara penandatanganan Kesepakatan Abraham, yang menormalkan hubungan antara Uni Emirat Arab dan Bahrain dengan Israel, di Halaman Selatan Gedung Putih di Washington, DC, AS, 15 September 2020.
Foto: EPA-EFE/JIM LO SCALZO
(Kiri ke kanan) Menteri Luar Negeri Bahrain Sheikh Khalid Bin Ahmed Al-Khalifa, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, Presiden AS Donald J. Trump dan Menteri Luar Negeri UEA Sheikh Abdullah bin Zayed bin Sultan Al Nahyan selama upacara penandatanganan Kesepakatan Abraham, yang menormalkan hubungan antara Uni Emirat Arab dan Bahrain dengan Israel, di Halaman Selatan Gedung Putih di Washington, DC, AS, 15 September 2020.

REPUBLIKA.CO.ID, DUBAI - Raja Hamad bin Isa Al Khalifa pada Senin menyatakan bahwa langkah Bahrain menjalin hubungan dengan Israel tidak ditujukan untuk menentang entitas atau negara mana pun. Namun kesepakatan ini bertujuan menciptakan perdamaian komprehensif di Timur Tengah.

Raja, dalam pernyataan kabinet yang dilaporkan Kantor Berita BNA, kembali menegaskan dukungan Bahrain untuk rakyat Palestina dan inisiatif damai Arab yang disusun pada 2002. Inisiatif tersebut menawarkan normalisasi hubungan Israel dengan imbalan kesepakatan pembentukan negara Palestina dan penarikan penuh Israel dari wilayah yang dirampas pada perang Timur Tengah 1967.

Baca Juga

Bahrain dan Uni Emirat Arab menjadi negara Arab pertama dalam seperempat abad yang meresmikan hubungan dengan Israel tetapi tanpa resolusi konflik Israel dengan Palestina, dalam sebuah reformasi strategis negara Timur Tengah melawan Iran. Kesepakatan itu menyerukan 'hubungan diplomatik penuh" namun menghindari istilah normalisasi.

"Toleransi dan hidup berdampingan menentukan identitas Bahrain yang sesungguhnya. Langkah kami menuju perdamaian dan kemakmuran tidak ditujukan untuk menentang entitas atau negara apa pun, sebaliknya demi kepentingan semua orang dan bertujuan untuk bertetangga yang baik," kata Raja Hamad dikutip BNA.

Protes sporadis pecah di Bahrain sejak pihaknya menandatangani kesepakatan dengan Israel awal September ini.

Bahrain merupakan negara Teluk Arab satu-satunya yang menyaksikan pemberontakan prodemokrasi yang cukup besar pada 2011, yang dihentikan berkat bantuan Arab Saudi dan Emirat. Negara yang diperintah oleh Suni tersebut menuding Muslim Syiah Iran mendukung protes tersebut, sebuah tuduhan yang dibantah oleh Iran.

sumber : Reuters
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement