REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tren korting oleh MA dalam putusan pidana korupsi dinilai sebagai efek dari pensiunnya Artidjo Alkostar sebagai hakim agung. Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Zaenur Rohman mengatakan tren itu terlihat jelas sejak Artidjo Alkostar pensiun sebagai hakim agung.
"Pada prinsipnya saya menghormati putusan hakim. Namun, dalam putusan pidana korupsi, sudah terlihat jelas sejak Artidjo Alkostar pensiun sebagai hakim agung. Fakta ini tentu menimbulkan pertanyaan, mengapa sekarang MA sering mengurangi hukuman perkara korupsi?" ujar Zaenur kepada Republika, Selasa (22/9).
Zaenur menilai catatan KPK soal 20 terpidana kasus korupsi mendapatkan pengurangan hukuman Mahkamah Agung (MA) melalui putusan Peninjauan Kembali (PK) sepanjang 2019-2020 merupakan sebuah peringatan. Menurutnya, KPK sedang mengingatkan publik dan MA, jika tren ini terus berlangsung maka bisa muncul kesan efek jera semakin hilang dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi.
Karena itu, ia mendorong, Bawas MA dan Komisi Yudisial memberi perhatian atas tren korting hukuman ini. Jangan sampai ada faktor selain alasan yuridis yang memengaruhi tren ini.
"Publik juga perlu kritis, sebagai bentuk kontrol. Misalnya kalangan akademisi dapat melakukan eksaminasi terhadap putusan-putusan yang meringankan tersebut, " tegasnya.
Peneliti Indonesoa Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, mengatakan ketiadaan Artidjo menjadi angin segar bagi para koruptor untuk mencoba peruntungan. "Saat ini, tak dapat dimungkiri bahwa sosok seperti Artidjo Alkostar tidak lagi tampak di MA. Maka dari itu para koruptor memanfaatkan ketiadaan Artidjo itu sebagai salah satu peluang besar untuk dapat menerima berbagai pengurangan hukuman di MA, " ujar Kurnia.
Karenanya, ICW mendesak agar Ketua Mahkamah Agung, M Syarifuddin menaruh perhatian lebih terhadap perkara-perkara yang diputus lebih ringan pada tingkat Peninjauan Kembali. Sebab, ICW menilai kondisi ini semakin memperparah iklim pemberantasan korupsi di Indonesia;
Sementara itu, Mahkamah Agung (MA) menyatakan menghormati KPK yang menyoroti putusan hakim agung dalam Peninjauan Kembali (PK) koruptor. Termasuk, desakan dari masyarakat sipil yang meminta agar Ketua MA Syarifuddin untuk menaruh perhatian lebih terhadap perkara-perkara yang diputus lebih ringan pada tingkat Peninjauan Kembali (PK).
"Harapannya baik tentu pernyataan tersebut kami hormati, " ujar Kabiro Hukum dan Humas MA Abdullah dalam pesan singkatnya, Senin (21/9).
"Mohon maaf, tanpa didesak siapapun, semua kritik dan saran dihormati. Fungsi itu sudah menjadi tugas dan fungsi Badan Pengawasan. Tanpa diminta Bawas pasti sudah melakukan tugasnya" kata Abdullah.