REPUBLIKA.CO.ID, oleh Febrianto Adi Saputro, Mimi Kartika, Rizky Suryarandika, Ronggo Astungkoro
Desakan publik tidak menggoyahkan pemerintah juga DPR untuk menunda Pilkada serentak. Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Firman Noor menilai keputusan pemerintah yang tetap menggelar pilkada serentak pada Desember 2020 dapat berimbas pada peningkatan jumlah pemilih golput .
"Saya kira mungkin saja (jumlah golput meningkat) itu terjadi, mungkin ya. Tapi apakah itu kemudian akan menjadi concern bagi elit dan pemerintah, DPR, saya kira tidak juga," kata Firman saat dihubungi Republika, Selasa (22/9).
Firman mengatakan hal tersebut sudah terlihat bagaimana sikap dari sosok sekaliber Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Azyumardi Azra yang memutuskan untuk golput di pilkada serentak 2020. Kendati demikian, ia melihat bahwa sikap tersebut tidak akan mempengaruhi keputusan politik yang sudah diambil pemerintah.
"Saya kira mau golput atau tidak, itu tidak menjadi patokan dan harapan dari para elit politik saat ini, itu tetap akan berjalan, mereka cenderung don't care soal itu gitu ya," ujarnya.
Selain itu, Firman melihat sikap yang diperlihatkan pemerintah dan DPR saat ini sama persis dengan apa yang terjadi pada bulan September 2019 lalu. Ketika itu pemerintah dan DPR sepakat untuk merevisi UU KPK. Meskipun mendapat penolakan dari masyarakat, namun pemerintah justru mengambil sikap berseberangan dengan masyarakat.
"Jadi ini betul-betul satu kontinuitas yang mencerminkan bagaimana pemerintah kita itu semakin elitis ya dan tidak peduli dengan masyarakat," tegasnya.
Kendati sudah terlanjur diputuskan bahwa pilkada akan tetap digelar, ia berharap pemerintah bisa menunjukkan komitmennya untuk melindungi nyawa masyakarat. Dirinya jgua mendesak agar ada langkah-langkah konkret yang detail dan penerapan sanksi tegas di dalam pelaksanaan pilkada serentak 2020 kali ini.
"Di sisi lain pemerintah juga harus tetap menjamin bahwa pelaksanaan pilkada ini adalah pilkada yang jujur, adil, bersih, itu juga harus penting tanpa ada intervensi dari pihak-pihak manapun termasuk dari aparat pemerintah," ucapnya.
Sebelumnya sikap pemerintah dan DPR yang memutuskan untuk melanjutkan pilkada serentak 2020 memunculkan reaksi. Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Azyumardi Azra menyatakan golput di pilkada serentak 2020. Hal tersebut ia sampaikan melalui akun Twitter resminya @prof_azyumardi, Senin (21/9) malam.
"Saya golput Pilkada 9 Des 2020 sebagai ungkapan solidaritas kemanusiaan bagi mereka yang wafat disebabkan wabah korona atau terinfeksi Covid-19," tulis Azyumardi dalam akun Twitternya yang sudah dikonfirmasi Republika, Selasa (22/9).
Menurutnya dilaksanakannya pilkada di masa pandemi yang saat ini jumlah kasusnya masih terus meningkat sangat membahayakan kesehatan pemilih. Ia memandang adanya kerumunan massa bisa meningkatkan jumlah warga yang terinfeksi dan meninggal dunia.
"Apalagi saya dan banyak senior citizen/manula lain punya morbiditas tertentu yang rawan dan rentan," imbuh rektor UIN Syarief Hidayatullah Jakarta 1998-2006 tersebut.
Epidemiolog dari Universitas Indonesia Pandu Riono menyarankan agar Pilkada 2020 sebaiknya ditunda. Ia memandang dari aspek kesehatan Pilkada tak layak dilakukan untuk sementara ini.
Dokter Pandu memantau pandemi di Indonesia masih kian ganas karena belum menunjukkan tanda-tanda reda. Bahkan jumlah kasus Covid-19 yang terdeteksi mulai menyentuh 4 ribuan per hari.
"Sebaiknya ditunda (Pilkada) sampai pandemi terkendali," kata Pandu.
Pandu menyebut tingginya risiko penularan Covid-19 jika Pilkada 2020 dipaksakan sesuai jadwal pada Desember nanti. Pilkada sulit diatur agar tak menimbulkan kerumunan.
"Pilkada yang mengizinkan kerumunan akan meningkatkan penularan," ujar Pandu.
Pandu meminta pemerintah, penyelenggara dan peserta pemilu untuk menyadari bahayanya memaksakan Pilkada 2020. Menurutnya, Pilkada sebaiknya baru dilakukan saat pandemi mulai bisa dikendalikan.
"Harus berhasil kendalikan pandemi sebelum Pilkada. Jangan ada kerumunan, semua kampanye online, pemungutan suara diatur sesuai dengan waktu," ucap Pandu.
Sejumlah lembaga swadaya masyarakat dan pegiat pemilu terus mendesak penundaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 dengan alasan mengutamakan keselamatan masyarakat. Kesimpulan rapat antara Komisi II DPR RI, pemerintah, dan penyelenggara pilkada yang tetap melanjutkan pilkada di tengah pandemi Covid-19 dinilai mengecewakan.
"Mengecam keras keputusan DPR, pemerintah, dan penyelenggara pemilu yang terus melanjutkan tahapan Pilkada 2020," ujar aktivis perempuan yang juga Penasehat Pemantauan Kemitraan, Wahidah Suaib dalam konferensi pers daring Menunda Pilkada 2020, Selasa (22/9).
Ia mengatakan, ketiga pemangku kepentingan tersebut seolah-olah tidak melihat fakta angka penyebaran Covid-19 makin meningkat, termasuk angka korban meninggal dunia yang terus bertambah. Hingga tanggal 21 September, secara nasional, setidaknya 9.667 orang meninggal karena Covid-19 dan 248.852 orang lainnya terinfeksi.
Namun, hari pemungutan suara Pilkada 2020 pada 9 Desemeber mendatang tetap dipaksakan terus berjalan. Kesepakatan melanjutkan Pilkada diartikan Koalisi bahwa pemangku kepentingan tidak mendengarkan aspirasi masyarakat luas untuk menunda pelaksanaan Pilkada 2020.
Padahal, kata Wahidah, suara dari masyarakat untuk menunda Pilkada 2020 tidak hanya datang dari organisasi masyarakat sipil yang memiliki kepedulian khusus terhadap isu kepemiluan. Desakan menunda Pilkada 2020 juga disuarakan dua organisasi Islam terbesar di Indonesia yakni Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.
Komnas HAM juga telah merekomendasikan penundaan pelaksaanaan Pilkada. Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) pun telah menerima lebih 50 petisi dari masyarakat yang meminta Pilkada ditunda.
Wahidah menuturkan, Pilkada yang dipaksakan ditengah pandemi menimbulkan fakta yang memprihatinkan. Pihak-pihak yang terlibat dalam Pilkada banyak terkonfirmasi positif Covid-19, di antaranya 60 orang bakal calon (data KPU per 10 September 2020), 163 orang jajaran Bawaslu (per 21 September), dan 92 jajaran KPU termasuk dua Komisioner KPU RI dan Ketua KPU RI (per 20 September).
"DPR, pemerintah, dan penyelenggara pemilu seperti tidak memahami masalah yang terjadi, sehingga dengan mudahnya menyimpulkan, perlu perbaikan Peraturan KPU untuk menyiapkan manajemen teknis dan tahapan Pilkada 2020 di tengah kondisi pandemi Covid-19 yang semakin membahayakan," kata Wahidah.
Padahal, Undang-Undang tentang Pilkada yang berlaku saat ini sama sekali tidak mengatur detail teknis dan manajemen pelaksanaan pilkada yang harus sesuai dalam keadaan pandemi. Artinya, tidak bisa perbaikan regulasi hanya dilakukan pada Peraturan KPU, melainkan harus dilakukan di UU Pilkada.
Koalisi Masyarakat Sipil menilai, pemerintah, DPR, dan penyelenggara pemilu sedang mempertaruhkan nyawa masyarakat dengan memaksakan Pilkada saat kondisi pandemi masih mengkhawatirkan. Mereka mendesak Pilkada 2020 ditunda sampai situasi pandemi lebih terkendali, sekaligus pemetaan yang jauh lebih detail, dan berkoordinasi intens dengan Satuan Tugas Penanganan Covid-19.
"Penundaan Pilkada perlu dilakukan hingga pemerintah, DPR dan penyelenggara pemilu selesai menyiapkan regulasi yang lebih komprehensif dan cermat untuk melaksanakan pilkada ditengah kondisi pandemi," kata Wahidah.
Koalisi Masyarakat Sipil yang menyatakan sikap mendesak Pilkada 2020 ditunda antara lain Indonesa Corruption Watch (ICW), KawalCOVID19, Kemitraan, KOPEL Indonesia, Koalisi Perempuan Indonesia, LaporCovid-19, Migrant Care, NETFID, NETGRIT, Perkumpulan Warga Muda, Perludem, PSHK,PUSaKO, dan TI-I.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, mengungkap alasan pemerintah memilih tetap menggelar Pilkada. Mahfud mengatakan tidak boleh ada kekosongan kepemimpinan.
Pejabat pelaksana tugas (Plt), kata dia, tidak bisa mengambil kebijakan strategis yang diperlukan dalam penanganan Covid-19. "Pemerintah tidak ingin terjadi kekosongan pemimpin yang hanya dilakukan oleh Plt sampai 200-an daerah dalam waktu bersamaan, karena Plt tidak boleh ambil kebijakan strategis," ujar Mahfud saat membuka Rapat Koordinasi Persiapan Pilkada Serentak 2020 secara virtual, Selasa (22/9).
Menurut Mahfud, pengambilan kebijakan strategis itu diperlukan pada masa pandemi Covid-19. Dengan dijabat oleh Plt, maka nantinya akan berimplikasi pada pergerakan birokrasi yang memerlukan pengambilan keputusan dan kangkah-langkah strategis dalam penanganan Covid-19. Situasi itu ia sebut akan tidak menguntungkan proses pemerintahan.
"Maka akan kurang untungkan proses pemerintahan jika 270 daerah ditetapkan Plt sampai waktu tidak jelas (kapan pandemi selesai)," kata dia.
Mahfud menjelaskan, tidak ada satu pun pihak yang dapat memastikan kapan pandemi Covid-19 akan berakhir. Karena itu, jika memang ditunda dengan alasan tersebut Pilkada 2020 tidak memiliki kepastian waktu pelaksanaannya. Dia pun bercermin ke negara Amerika Serikat, yang jumlah kasus Covid-19 jauh lebih banyak dari Indonesia, dalam pelaksanaan Pemilu.
"Di negara yang serangan Covid-19 lebih besar seperti Amerika juga pemilu tidak ditunda. Di berbagai negara pemilu tidak ditunda," jelas Mahfud.