Rabu 23 Sep 2020 06:51 WIB

Diary Penyintas Covid-19 (1): Hari tak Diinginkan Itu Datang

Diary Penyintas Covid-19 bagian 1

Seorang petugas kesehatan merawat pasien di unit perawatan intensif yang diperuntukkan bagi orang yang terinfeksi COVID-19  (ilustrasi). AP Photo / Natacha Pisarenko
Foto: Foto AP / Natacha Pisarenko
Seorang petugas kesehatan merawat pasien di unit perawatan intensif yang diperuntukkan bagi orang yang terinfeksi COVID-19 (ilustrasi). AP Photo / Natacha Pisarenko

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Fauziah Mursyid

Sebelum bercerita pengalaman sebagai penyintas Covid-19, izin saya bercerita mengenai keluarga kami yang merupakan keluaga pasien cuci darah. Sejak awal 2020, tepatnya 16 Januari, persis di ulang tahun ibu saya ke-59, ibu mulai menjalani hemodialisa atau cuci darah.

Sepanjang awal cuci darah, semua berjalan normal, kondisi ibu saya pun sehat, tidak ada keluhan saat proses hemodialisa. Hanya memang saat proses hemodialisa berlangsung, tensi naik turun itu suatu hal wajar saat proses hemodialisa.

Bulan berganti bulan, cuci darah yang dilakukan dua kali sepekan, yakni Rabu-Sabtu itu berjalan lancar. Namun, ketidaknyamanan mulai muncul, saat informasi mengenai wabah pandemi Covid-19 mulai masuk ke Indonesia pada Maret awal.

Klinik tempat ibu saya menjalani hemodialisa pun mulai memberikan panduan panduan mengenai protokol kesehatan demi pencegahan virus Covid-19.

Semua menyadari betul, risiko tinggi yang diakibatkan jika pasien cuci darah sampai tertular Covid-19. Karena itu, protokol perlahan-lahan mulai kami biasakan, baik pasien maupun para keluarga mengantar.

Sebab, biar bagaimanapun, kebutuhan hemodialisa wajib dan tidak bisa ditunda bagi para pasien. Ibaratnya, mesin hemodialisa bagi pasien cuci darah seperti pengganti fungsi ginjal yang ada pada orang normal.

Karena itu, ketakutan akan Covid tidak kemudian menghentikan proses tersebut. Sebagai gantinya, Kami wajib mengikuti aturan untuk menggunakan masker baik pasien maupun keluaga penunggu, jaga jarak, imbauan mencuci tangan atau menggunakan hand sanitizer setiap memegang sesuatu.

Semua imbauan itu pun konsisten dilakukan sejak awal hingga saat ini bisa dikatakan. Meskipun diakui masker sesekali dilepaskan saat pasien tengah makan atau minum di ruangan. Karena tak bisa dimungkiri, lamanya proses cuci darah sekitar lima jam lamanya, ditambah waktu kedatangan, pemasangan alat dan pelepasan alat bisa total tujuh jam, berkomunikasi antara satu pasien maupun keluaga pasien sebagai mengusir kebosanan dan penyemangat tidak bisa dihindari.

Semua itu pun berjalan lancar, sampai kemudian musibah itu terjadi di pekan akhir Agustus. Hari yang oleh saya, dan teman-teman di ruangan Hemodialisa tidak pernah bayangkan akan mengalami selama hidupnya.

Berawal pada Selasa 25 Agustus, Ba'da Magrib, ketika informasi duka datang dari teman penyintas cuci darah yang berpulang. Memang, beliau selama  seminggu terakhir diketahui kondisinya menurun karena diare.

Namun, yang mengagetkan dari kabar ini adalah, beliau meninggal setelah dikonfirmasi positif Covid-19. Kekhawatiran pun langsung membayangi kami, pasien dan para keluarga.

Apalagi, ada imbauan dari tenaga medis di tempat Hemodialisa agar semua pasien melakukan tes swab atau tes usap. Padahal, keesokan harinya, adalah jadwal cuci darah berikutnya.

Namun, kami urungkan melakukan cuci darah untuk meminimalisasi risiko penularan jika di antara kami ada yang positif.

Namun, saat itu di antara kami, tidak ada yang menunjukkan gejala. Kami juga memutuskan untuk memprioritaskan tes swab kepada ibu saya.

Rabu keesokan harinya, bapak mulai bergerak, ia langsung mendatangi puskesmas di tempat kami tinggal, Depok, dan melaporkan jika ibu saya pasien kontak erat pasien HD yang meninggal tersebut.

Kami berharap dengan mempertimbangkan komorbid atau penyakit penyerta ibu saya, ibu saya bisa mendapat prioritas tes swab di puskesmas.

Namun, jawaban kurang memuaskan justru kami dapat, dengan alasan tak ada gejala, ibu saya diminta cukup isolasi mandiri.

Kecewa dengan alasan puskesmas kami memutuskan untuk tes mandiri. Keesokannya, kamis pagi, kami tes mandiri di rumah sakit, masih di kota Depok.

Saat tes swab hari itu, kondisi mama masih fit, dan tidak ada gejala apa pun. Hingga pada malam harinya, sepulang tes usap mama mulai demam tinggi, menggigil, mual, dan sesekali muntah.

Saya belum menyadari jika itu bagian gejala Covid-19. Saya masih berpikir positif, itu karena ibu saya drop setelah mendengar dua rekannya juga dinyatakan positif Covid dan dirujuk ke rumah sakit di Jakarta Selatan.

Namun, anehnya, demam tinggi itu tidak kunjung turun, meski mama sudah diberi paracetamol dan dikompres air hangat. Hingga esoknya, hasil swab ibu saya menunjukan hasil positif Covid-19. Dan mulai hari itu juga, diawali penurunan kondisi beliau dari hari ke hari.

Hari Sabtu tanggal 29 Agustus, beliau langsung dirujuk ke RS di kota Depok, setelah melalui berbagai rangkaian panjang karena dokter puskesmas di wilayah kami terus mengupayakan rujukan rumah sakit yang terdapat fasilitas cuci darah.

Dua hari pertama di RS, berdasarkan informasi perawat yang merawat beliau, demam ibu saya masih naik turun. Baru pada Selasa, kondisi mama saya makin membaik, beliau juga sudah bisa berkomunikasi dengan kami melalui sambungan telepon. Meski masih lemah, tapi kondisi sudah membaik dan tidak ada lagi demam.

Beliau hanya bercerita masih merasakan mual atau tidak enak makan, sesekali pusing, tetapi tidak panas. Hari berganti hari, kondisi beliau yang membaik memberi keyakinan bahwa beliau akan kembali sehat, meski di tengah itu informasi kami dapat dari rekan-rekan penyintas cuci darah ibu saya lainnya yang positif Covid-19 satu per satu berpulang.

Tapi kami terus optimistis, setiap pagi dan sore menghubungi ibu saya untuk memberikan suntikan semangat, sekali bergurau dan menanyakan keinginannya.

"Mama kan lagi merantau ini Ndok (panggilan ibu saya kepada saya)," ujarnya kala itu.

Sampai akhirnya, Sabtu 5 September 2020, kabar tidak mengenakan itu datang. Kondisi ibu saya menurun, dan harus masuk ruang ICU. Sehari sebelumnya, Jumat, memang ibu saya mengeluh susah bernapas hingga harus menggunakan oksigen.

"Mama kan lagi pilek, agak ngos-ngosan, jadi pakai oksigen, tapi nanti bawain mama agar-agar ya ndok, jangan pakai gula ya," kata dia saat itu.

Saya belum menyadari itu bagian dari permintaan terakhirnya, dan alhamdulillah terpenuhi. Saya saat itu masih optimistis ibu saya bisa kembali sehat, keajaiban akan datang. Berbagai macam informasi saya kumpulkan, banyak penyintas Covid yang kembali sehat meski pernah masuk ruangan ICU.

Ibu saya pun saat itu, sudah berjuang kurang lebih 13 hari jika dihitung sejak swab dilakukan, atau mungkin lebih sejak virus Covid-19 menginfeksi dirinya.

Namun, harapan itu pupus kala pihak RS mengabari Ibu saya berpulang pada Selasa pukul 22.50 WIB setelah berjuang kurang lebih tiga hari di ICU. Ibu saya pun menyusul enam teman Hemodialisanya yang lebih dahulu berpulang.

Bagi kami, khususnya saya, mama saya tidak pernah menyerah, beliau tetap mengajarkan arti perjuangan sampai akhir, seperti pernyataannya kepada saya bahwa ia tengah merantau dan berjuang, meski akhirnya takdir berkata lain. Selamat Jalan Mama dan para penyintas Covid-19 lainnya. (Bersambung.....)

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement