Rabu 23 Sep 2020 11:24 WIB

Diary Penyintas Covid-19 (2): Jika positif Kami Harus Apa?

Ketika tracing dan testing tak semudah yang disampaikan.

Seorang dokter, dengan pakaian pelindung lengkap. (ilustrasi)
Foto: AP/Natacha Pisarenko
Seorang dokter, dengan pakaian pelindung lengkap. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Fauziah Mursid*

Kalau mengamati  informasi dan pemberitaan mengenai Covid-19 di media sosial, televisi, online maupun koran, pasti informasi mengenai tracing (penelusuran), testing (pengetesan) seakan familiar.

Baca Juga

Pun halnya saya, yang beberapa kali membuat tulisan mengenai upaya yang dilakukan tracing testing dari pasien Covid-19. Pejabat pemerintah, mulai dari pimpinan pusat, daerah, pejabat gugus tugas terkait penanganan Covid-19 baik pusat dan daerah dalam pernyataannya, kerap kali mengatakan tracing dan testing diupayakan maksimal.

Namun, ketika berhadapan dengan proses itu secara langsung, saya merasa hal itu tidak seperti yang selama ini saya bayangkan. Tanpa berusaha menghakimi, saya berupaya menceritakan apa adanya berdasarkan pengalaman saya sebagai warga kota Depok.

Dalam tulisan saya sebelumnya, saya bercerita bagaiamana kami proaktif setelah rekan cuci darah satu ruangan ibu saya meninggal dan dinyatakan positif Covid-19.

Kala itu, sehari setelahnya, kami mendatangi puskesmas di sekitar tempat tinggal kami. Dengan maksud melapor, jika ibu saya yang juga penyintas cuci darah kontak erat dengan pasien cuci darah yang meninggal tersebut.

Berbekal informasi yang kami tahu dari gugus penanganan Covid-19 selama ini, pasien kontak dengan kontak erat, apalagi memiliki penyakit penyerta seperti ibu saya, mendapat prioritas testing. Hal ini juga untuk memastikan penyebaran virus Covid-19 hingga sejauh mana di tempat cuci darah ibu saya.

Tapi kekecewaan justru didapat, pihak puskesmas meminta keluarga kami saat itu cukup isolasi diri, dengan alasan tidak ada gejala dan keterbatasan tes di puskesmas tersebut.

Merasa tak puas, akhirnya kami memutuskan tes swab mandiri kepada ibu saya di salah satu RS swasta Kota Depok. Pertimbangannya kenapa hanya ibu saya, karena beliau memiliki penyakit penyerta/komorbid sehingga harus menjadi prioritas.

Dan benar saja, sehari berikutnya, hasilnya keluar dan hasilnya positif. Bahkan, setelah ibu saya positif pun, kami langsung kembali melapor ke puskesmas setempat, namun kami gagal bertemu dengan dokter setempat saat itu.

Bersamaan dengan itu, di rumah, kami berusaha melapor ke hotline penanganan Covid Kota Depok mengenai status positif salah satu anggota keluarga kami, kondisinya termasuk jumlah anggota keluarga.

Memang benar, kami didata, tapi yang saya ingat saat itu, jangankan tindaklanjut, rekomendasi pun tidak kami dapat.

Berjam-jam setelah upaya dilakukan belum berhasil, dengan kondisi ibu saya mulai bergejala, demam tinggi, kami masih melakukan berbagai upaya. Kami mendatangi rumah sakit tempat cuci darah ibu saya, mencoba meminta rujukan agar ibu saya ini bisa dirujuk ke rumah sakit.

Entah karena alasan apa, kalau tidak salah karena swab yang dilakukan ibu saya mandiri, jadi rujukan itu tidak bisa didapat dari rumah sakit tersebut.

Akhirnya, jalan terakhir, mencari kontak orang gugus tugas penanganan Covid-19 di Kota Depok, melapor mengenai kondisi ibu kami, yang kemudian ditembuskan langsung oleh Dinas Kesehatan Kota Depok. Barulah, permintaan kami direspon dan ditindaklanjuti.

Puskesmas di tempat tinggal kami, kemudian menghubungi Bapak saya, mendata secara virtual ibu saya agar dirujuk. Karena saat itu sudah sore, dan mencari rumah sakit di Kota Depok yang menangani Covid dan mempunyai fasilitas cuci darah agak sulit, membuat proses rujuk baru bisa dilakukan pada keesokan harinya.

Akhirnya, Sabtu pagi pun ibu kami berhasil dirujuk.

Untuk itu, saya berterimakasih pada dokter di puskemas tersebut dan pihak lain untuk mengusahakan berbagai ibu saya mendapat rujukan di rumah sakit Kota Depok.

Hanya yang menjadi ganjalan bagi saya hingga saat ini adalah respon yang kurang tanggap dari instansi terkait jika mereka terkonfirmasi positif Covid-19. Mungkin bagi mereka yang sehat dan tidak bergejala, isolasi di rumah bisa dilakukan. Tapi tidak halnya bagi mereka yang bergejala. (Bersambung...)

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement