REPUBLIKA.CO.ID, BEOGARD -- Sebelumnya komunitas kecil Muslim Montenegro telah menjadi sasaran serangan etnis, dan agama pada 1 September setelah pemilihan pada 30 Agustus. Para pengacau menghancurkan jendela kantor lokal komunitas Islam di Pljevlja.
Sementara itu, coretan yang memuji pembantaian Srebrenica 1995 muncul di tembok kota, dan sejumlah kota sekitarnya. Hal ini turut memberikan rasa takut bagi muslim Serbia.
"Ini benar-benar menakutkan," kata Presiden Komunitas Islam di Serbia, Mevlud Dudic, dilansir dari laman Euro News, pada Selasa (22/9).
"Bosniaks dan, saya akan menambahkan, semua orang normal, gemetar ketika genosida Srebrenica disebutkan dalam konteks semacam ini. Saya suka percaya bahwa hal-hal dari tahun sembilan puluhan tidak akan pernah terjadi lagi di Balkan," ucapnya.
Adapun muslim merupakan target utama selama perang yang melanda bekas Yugoslavia selama 1990-an. Sementara nasib Muslim Bosnia, dikenal sebagai Bosniak, paling terkenal karena adanya pembunuhan 7.000 pria dan anak laki-laki oleh milisi Serbia di Srebrenica dan pengepungan di Sarajevo. Komunitas Islam di Serbia dan Montenegro juga menjadi korban kekerasan etnis.
Di Novi Pazar, Sandzak, warga masih ingat bahwa tank Serbia yang ditempatkan di perbukitan di sekitar kota selama perang tidak diarahkan ke Bosnia, tetapi ke arah mereka. Sementara itu, tidak diketahui jumlah muslim Serbia tewas selama perang, dan ribuan lainnya menderita diskriminasi. Banyak pelaku tetap tidak dihukum 25 tahun kemudian.
Presiden Komite Sandzak untuk Hak Asasi Manusia, Semiha Kacar mengatakan, bahwa warisan dari kekerasan itu dan fakta bahwa keadilan tidak pernah diberikan menjadi sumber utama konflik antara komunitas Muslim, dan tetangga non-Muslim mereka di Serbia.
"Praktis tidak ada yang dilakukan tentang kejahatan yang dilakukan terhadap Bosniak di Sandzak. Itu menurunkan kepercayaan pada negara," kata dia.
Penduduk Novi Pazar dan aktivis, Sead Biberovic menggemakan pandangan bahwa kegagalan untuk menghukum penjahat perang yang melakukan kekerasan terhadap Bosnia pada 1990-an, dan kurangnya pendidikan secara umum di negara itu terkait perang, telah meningkatkan ketegangan.
"Negara bagian Serbia tidak mengakui apa yang dilakukannya pada tahun sembilan puluhan. Penjahat perang tidak dituntut dan bahkan warga negara biasa tidak mengetahui apa yang telah dilakukan," kata dia.
"Itu meninggalkan rasa tidak enak di mulut orang Bosniak. Masalah yang belum terpecahkan tidak pernah baik untuk stabilitas" lanjutnya.
Meski jarang terjadi di Sandzak saat ini, insiden antar etnis lebih sering terjadi di stadion sepak bola daripada di jalanan. Biberovic mengatakan, insiden ini diarahkan, atau setidaknya diberkati, oleh pemerintah di Beograd.