REPUBLIKA.CO.ID, Goncangan ekonomi akibat pandemi benar-benar mengganggu keseimbangan dunia. Krisis ekonomi bermunculan dan dirasakan hampir seluruh negara. Pandemi ini bahkan disebut akan menjadi awal kehancuran hegemoni Barat.
Sejumlah ketakutan mulai terlihat dari beberapa petinggi negara Barat, salah satu Perwakilan Tinggi Uni Eropa untuk Urusan Luar Negeri dan Kebijakan Keamanan Josep Borrell Fontelles yang memprediksikan kembali munculnya kerajaan di sejumlah negara seperti Turki, China, dan Rusia. Seorang penulis Turki, Yusuf Kaplan, dalam artikelnya mencoba mengulik peringatan yang diungkapkan Borrell tersebut. Peringatan yang muncul saat modernitas Barat telah berada di ambang kekacauan akibat krisis beruntun, dianggap sebagai awal keruntuhan Barat.
"Dalam artikel ini, saya akan mencoba untuk menunjukkan bagaimana Barat bermaksud untuk menciptakan sebuah spektrum Ottoman untuk mengembangkan identitas mereka dan menakuti dunia," ujar Kaplan yang dikutip di Yenisafak, Rabu (23/9).
"Umat Muslim dan Turki sebagai keturunan Ottoman, dapat menciptakan "imperialis ekspansionis" buatan yang disebut neo-Ottomanisme," ujarnya menambahkan.
Di masa lalu, pada masa kolonialisme klasik, kaum imperialis Barat akan secara langsung menyerbu daerah sasarannya begitu mereka mengkonsolidasi kekuatan fisik tertentu.
Di zaman sekarang ini, terutama di era pasca-kolonial, serangan yang dilakukan akan diawali dengan menyerang pikiran, dan mereka melakukan ini tidak secara langsung tetapi secara tidak langsung, kata Kaplan.
"Kolonialisme klasik didasarkan pada invasi fisik. Hari ini, bagaimanapun, neo-kolonialisme didasarkan pada invasi mental," ujarnya.
"Pada akhirnya, jika perlu, jika mereka merasa perlu, pada saat itulah mereka secara fisik juga menyerbu tanah.
Ini adalah yang disebut Kaplan sebagai perbudakan epistemik, dimana cara kolonialisme diinovasikan sesuai perkembangan zaman. Terdapat satu perbedaan yang sangat penting antara kolonialisme klasik dan perbudakan epistemik.
"Kolonialis sekarang memastikan kepatuhan lawan bicaranya dengan menggunakan Sindrom Stockholm. Mereka tidak lagi membangun hegemoni melalui logika atau persuasi. Mereka menegakkan hegemoni dengan merayu mereka melalui persepsi, dengan membuat mereka jatuh cinta pada pelaksanaanya, dan mengambil posisi sebagai tuan dan direktur pikiran kita," ujarnya menjelaskan.
Kaplan mengatakan, Hegemoni Barat didirikan atas dasar fiksi, kepura-puraan dan berpegang pada konsep dimana pihak lain diciptakan, namun pihak itu dimunculkan sebagai pihak yang 'jahat'. pihak jahat ini nantinya akan mencoba untuk melegitimasi ketidakadilan hegemoni, yang berujung pada tindakan brutal, kelahiran 'penghisap darah' lainnya.
"Dalam pernyataan "kerajaan akan kembali", Borrell mengeluh tentang kembalinya Turki, Rusia, dan China, tetapi yang benar-benar mereka takuti adalah kebangkitan Turki dari 'tidur panjangnya' dan kemungkinan akan kembali berjaya di tingkat negara adidaya," ujar Keplan.
Presiden Recep Tayyip Erdoğan dalam pernyataannya, sempat menyinggung 'kebangkitan' dan menyebutnya sebagai peradaban dimana ide-ide yang diungkapkan selama bertahun-tahun akan terwujud. Meski untuk mewujudkannya, Presiden Erdogan perlu bertindak cerdik dan tegas terkait masalah ini, katanya.
"Borrell melihat bahwa Turki akan segera bangun dari tidurnya, dan mengaitkannya dengan klaim kebangkitan peradabannya, dan dengan demikian mencoba untuk menakut-nakuti dunia, bahwa Muslim, serta kita (Turki), anak-anak Ottoman, bersama dengan Kekaisaran Ottoman!" ujarnya.
Keplan menjelaskan, kekaisaran Ottoman tidak pernah menganut sistem imperialis. Jika memang memiliki visi imperial, Kekaisaran Ottoman tidak pernah menjadi kekuatan imperialis, kolonialis, penghisap darah di tiga benua yang dikuasainya, dan tidak pernah mengeksploitasi tanah yang dikuasainya, menghancurkan budaya, atau orang yang dikuliti seperti yang dilakukan oleh imperialis Barat.
"Baik Barat dan Ottoman memerintah lebih dari tiga benua dalam periode waktu yang sama. Tetapi dengan satu perbedaan, Barat mendominasi penggunaan senjata dan kekuasaan, sedangkan Ottoman melakukannya dengan keadilan dan kekuatan ide-ide mereka," kata dia.