REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Meski pemerintah menegaskan tidak akan menunda Pilkada 2020 di tengah pandemi Covid-19, tetapi tetap memunculkan pro dan kontra.
Aktivis Mahasiswa yang tergabung dalam beberapa organisasi mahasiswa turut buka suara. Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Wijaya Kusuma (UWK) Surabaya, Eko Pratama, menilai bukan penundaan yang harus dilakukan tetapi melibatkan seluruh elemen masyarakat untuk berpartisipasi mensukseskan Pilkada yang demokratis dan aman Covid-19. Yang diperlukan adalah memastikan pelaksanaan Pilkada dalam kondisi pandemi Covid-19 tidak menjadi kluster penyebaran.
“Jika kesadaran masyarakat tinggi akan protokol kesehatan yang diatur dalam seluruh tahapan Pilkada, justru keterlibatan potensi 106 juta pemilih sebagai agen perlawanan terhadap Covid-19 bisa memutus mata rantai penyebarannya," ungka Eko, Rabu (23/9).
Ia meyakini, Pilkada yang tetap dilanjutkan dengan evaluasi dan perbaikan peraturan KPU serta penegakan hukum yang tegas dari aparat Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) dalam Pilkada dalam hal ini Bawaslu, Kepolisian, dan Kejaksaan Agung.
“Insya Allah Pilkada bisa berjalan sesuai dengan harapan: minim pelanggaran dan terutama tanpa kasus penyebaran Covid-19.
Ia menyebutkan, keterlibatan masyarakat bisa dari cara yang sederhana. Misalnya para anggota BEM di kampus masing-masing turut memantau dan mengawal penerapan protokol kesehatan pada tahapan pelaksanaan di lapangan. Penundaan bukan solusi.
Sementara menurut Presiden Mahasiswa Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Badrus, belum ada alasan yang mendesak untuk menunda Pilkada serentak 2020.
“Jika alasannya untuk mencegah munculnya cluster baru, penularan Covid-19 berarti yang harus dibahas lebih detail adalah teknis atau mekanisme pemilihannya supaya tidak menimbulkan gerombolan massa dalam jumlah besar,” terang Badrus.
Kemudian, lanjutnya, jika dilihat dari sisi tahapan pelaksanaan yang sudah mencapai sosialisasi daftar pemilih sementara, jika pelaksanaan Pilkada serentak 2020 ditunda pasti akan berpengaruh pada rencana-rencana sosialisasi yang harus direncanakan dan dilakukan ulang.
“Kemudian pasti juga akan berimbas pada pendanaan Pilkada yang akan semakin membengkak dikarenakan pengulangan kembali beberapa tahapan terutama di tahap sosialisasinya,” ujar Badrus.
Ia mengungkapkan, ada atau tidaknya Pilkada 2020, pandemi Covid-19 di Indonesia tetap akan merebak. Ini dikarenakan tingkat kesadaran dan kepatuhan masyarakat terhadap protokol kesehatan masih rendah.
“Jadi permasalahan Covid-19 bukan alasan yang kuat untuk menunda Pilkada 2020, justru kita harus memperkuat penyelenggara untuk tetap dapat melanjutkan tahapan pilkada 2020 sebagaimana mestinya, dan meminta ketegasan dari penyelenggara dan instansi terkait untuk memberikan sanksi kepada calon yang melanggar Protokol kesehatan dalam giat kampanye atau tahapan pilkada yang lain,” imbuhnya.
Menurut Badrus, apakah para penolak Pilkada dan mendesak agar pesta demokrasi lokal tersebut ditunda bisa menjamin jika ditunda 2021, 2022, atau sampai Pilpres 2024 Pandemi Covid-19 sudah berakhir?
"Kita semua tentu saja sama-sama berharap yang terbaik. Pandemi segera berakhir agar kehidupan normal kembali,” ujarnya mengajak elemen bangsa optimis, berkaca pada keberhasilan sejumlah negara seperti Jerman, Arab Saudi, dan Korea Selatan menggelar hajatan besar, di saat pandemi Covid-19.