REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Kejaksaan (Komjak) meminta Kejaksaan Agung, Polri dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berkolaborasi untuk mengungkap oknum politikus yang terlibat dalam skandal Djoko S Tjandra. Komjak menilai permufakatan jahat tidak hanya melibatkan Jaksa Pinangki, Andi Irfan Jaya dan Djoko Tjandra saja.
"Publik tidak mempersoalkan koordinasi dan supervisi. Tetapi publik mengharapkan para bandit penjahat ini ditindak," kata Ketua Komjak Barita Simanjuntak, dalam pernyataan tertulisnya, di Jakarta, Rabu (23/9).
Hal itu didasarkan pada sangkaan yang kepada Jaksa Pinangki Sirna Malasari atas dugaan suap, pencucian uang dan permufakatan jahat. Dalam kaitan dugaan permufakatan jahat, Komjak menekankan pemberantasan praktik mafia hukum yang melibatkan lintas profesi seperti oknum penegak hukum, oknum penasihat hukum, oknum pengusaha dan oknum politisi diharapkan dapat diungkap tuntas melalui kerja sama penegak hukum, baik Polri, Kejaksaan dan KPK.
Barita mengatakan berdasarkan ekspose yang dilakukan Komjak pertama kali terkuak bahwa Jaksa Pinangki yang tidak berperan sebagai penyidik jaksa dan tidak memiliki kewenangan eksekusi justru menjadi salah satu sosok sentral kasus tersebut.
"Kemudian, muncul oknum penasihat hukum Anita Kolopaking, serta Andi Irfan Jaya, pengusaha sekaligus mantan politisi NasDem yang tak lain adalah Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) Nasdem Sulawesi Selatan. Ini sudah kelihatan benang merahnya bahwa diduga ada mafia sindikat atau industri hukum yang bermain di sini," ujar Barita.
Untuk itu, Barita mengatakan, penegak hukum harus mendalami seluruh pihak yang terlibat termasuk informasi dugaan adanya politisi yang menjadi bagian dalam kasus itu sebagai penegakan asas equality before the law dan due process of the law.
Komjak meyakini penyidikan kasus itu belum selesai karena masih dapat didalami dari keterangan Djoko dan Andi Irfan yang juga dijerat pasal pemufakatan jahat. Sementara itu, peneliti ICW Kurnia Ramadhana meragukan kelengkapan berkas Kejaksaan Agung ketika melimpahkan perkara yang melibatkan jaksa Pinangki Sirna Malasari ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
"Pertama, Jaksa Penuntut Umum tidak menjelaskan apa yang disampaikan atau dilakukan oleh Pinangki Sirna Malasari ketika bertemu dengan Djoko S Tjandra sehingga membuat buronan kasus korupsi itu dapat percaya terhadap jaksa tersebut," tutur Kurnia.
Hal ini penting, kata dia, sebab secara kasat mata, tidak mungkin seorang buronan kelas kakap seperti Djoko S Tjandra dapat menaruh kepercayaan tinggi kepada Pinangki, terlebih yang bersangkutan juga tidak memiliki jabatan penting di Kejaksaan Agung.
Selain itu, ICW mempertanyakan kepada Kejaksaan Agung, apakah proses pelimpahan perkara ke Pengadilan Tipikor dilakukan atas koordinasi terlebih dahulu kepada KPK, sebab KPK secara kelembagaan telah menerbitkan surat perintah supervisi pada awal September lalu.