REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Terlalu banyak dalil dalam Islam yang memuji harta kekayaan, namun sebagian ayat juga banyak yang mencelanya. Lantas bisakah harta dijadikan alat untuk mencapai kebahagiaan spiritual?
Salah satu dalil yang menyebut tentang pujian terhadap harta adalah di dalam Alquran Surah Al-Baqarah penggalan ayat 254. Allah berfirman:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَنفِقُوا۟ مِمَّا رَزَقْنَٰكُم
“Ya ayyuhalladzina amanu anfiqu mimma razaqnakum,”.
Yang artinya: “Wahai orang-orang beriman, belanjakanlah sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepadamu,”.
Sedangkan dalil yang mencela harta salah satunya terdapat dalam Alquran Surah Al-Munafiqun ayat 9 berbunyi:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تُلْهِكُمْ أَمْوَٰلُكُمْ وَلَآ أَوْلَٰدُكُمْ عَن ذِكْرِ ٱللَّهِ ۚ وَمَن يَفْعَلْ ذَٰلِكَ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْخَٰسِرُونَ
“Ya ayyuhalladzina aamanu laa tuhlikum amwalukum wa la awladukum an dzikrillahi. Wa man yaf’al dzalika fa-ulaika humul-khasirun,”.
Yang artinya: “Wahai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikanmu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang merugi."
Dalam buku Islam Risalah Cinta dan Kebahagiaan karya Pakar Tasawuf Haidar Bagir dijelaskan, karena terdapat ayat-ayat yang saling bertentangan, maka perlu penjelasan dari sisi-sisi keharmonisannya. Satu-satunya cara yang mungkin untuk mengharmoniskan ayat-ayat di atas adalah dengan menjelaskan derajat-derajat keutamaan.
Yakni, keutamaan jiwa seperti ilmu dan akhlak, keutamaan tubuh seperti kesehatan dan kecantikan, keutamaan atau kekayaan eksternal. Demikianlah cara untuk menemukan kecocokan antara berbagai ayat di atas.
Karena dengan penggunaan harta pertama, kebahagiaan abadi akan terjamin. Sebaliknya, melalui penggunaan harta yang buruk akan menimbulkan kemalangan abadi bagi pemiliknya.
Harta sesungguhnya dapat digunakan oleh pemiliknya untuk diri sendiri ataupun untuk keperluan orang lain. Untuk memenuhi kebutuhan pribadi seperti sandang, pangan, papan, menjadi sarana pendukung untuk mencapai kebahagiaan spiritual.
Adapun penggunaan kekayaan untuk keperluan orang lain, hal ini bisa untuk tujuan ukhrawi. Tujuan ukhrawi ini terbagi dua, pertama seseorang bisa saja sibuk untuk mencapai kebahagiaan dengan mampu menghasilkan kekayaan dan mempekerjakan orang agar dapat bekerja. Kedua, menghabiskan hartanya untuk menghormati tamu sebagai bagian dari akhlak terpuji, lalu sedekah, zakat, dan infak.