Kamis 24 Sep 2020 09:43 WIB

Analisis Refly Mengapa Jenderal Gatot Pensiunnya Dipercepat

Gatot dianggap ancaman Jokowi, karena jenderal AD, suku Jawa, dan keluarga santri.

Rep: Erik PP/ Red: Erik Purnama Putra
Panglima TNI periode 2015-2017 Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo saat mengunjungi kantor Harian Republika.
Foto: Republika/Erik Purnama Putra
Panglima TNI periode 2015-2017 Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo saat mengunjungi kantor Harian Republika.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat hukum Refly Harun menganalisis pengakuan mantan Panglima TNI periode 2015-2019 Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo yang mengaku dicopot dari jabatannya lantaran menginstruksikan seluruh jajaran TNI menonton film G30S/PKI pada 2017. Refly yang bersama Gatot sama-sama deklarator Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) pun memiliki analisis sendiri mengapa Gatot dicopot lebih cepat pada medio Desember 2017, padahal sebenarnya baru pensiun pada akhir Maret 2018.

Menurut Refly, Gatot selama menjabat memiliki tiga warisan kuat yang ada dalam dirinya, yang bisa berbahaya bagi konstalasi politik nasional 2019. Dia kala itu mendapat informasi akurat sekitar 2016 dari seorang kawannya, yang tak bisa disebutkan namanya. Jika Gatot dibiarkan berkibar maka peluangnya maju di Pilpres 2019 bisa terbuka, sehingga harus dicopot lebih cepat digantikan Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) Marsekal Hadi Tjahjanto.

"Tiga legacy Gatot, apa itu? Dia adalah jenderal Angkatan Darat. Kedua, dia berasal dari etnis mayoritas Jawa. Dan ketiga, dia berasal dari keluarga santri. Tiga kekuatan dalam satu dirinya inilah yang dianggap sumber yang bisa membahayakan atau menjadi rival kuat bagi Presiden Jokowi. Makanya cepat-cepat dicopot biar dia tak tumbuh sebagai sosok powerful," kata Refly dalam akun Youtube miliknya, dikutip Republika, Kamis (24/9).

Menurut Refly, pencopotan yang dialami Gatot merupakan hal biasa dalam politik. Refly menyebut, bukan kali pertama popularitas panglima TNI yang tinggi dianggap bisa membahayakan presiden yang ingin berkuasa lebih lanjut.

"Kita ingat Panglima ABRI saat itu, bagaimana Jenderal M Yusuf begitu populernya, tapi Pak Harto kemudian menyingkirkannya, dan menjadikannya sebagai ketua BPK (Badan Pemeriksa Keuangan), tapi lebih mending daripada (Jenderal) LB Moerdani yang benar-benar dicopot dan tak diberikan jabatan apa-apa," kata Refly.

Karena itu, Refly menyoroti ada dua hal yang sebenarnya melekat pada pencopotan Gatot. "Pertama (pemutaran film) PKI itu sendiri, kedua tentang persaingan kekuasaan, dan Gatot adalah orang yang disebut-sebut capres potensial sekitar tahun 2016-2017, dan pensiunnya dipercepat agar dia tak menjadi sosok yang powerful," katanya.

Refly melanjutkan, figur Gatot semakin populer ketika tampil beda sendiri saat mendampingi Presiden Joko Widodo (Jokowi) hadir di Aksi Damai 212 pada Desember 2016. Kala itu, lautan manusia yang memenuhi Monas dan sekitarnya, menuntut kasus penistaan agama yang dilakukan oleh Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.

"Dan sangat kontroversial Gatot berpeci putih atau peci haji hadir dalam 212, dan merasa comfortable menjadi bagian dari itu. Dan ini juga yang mengkhawatirkan Presiden Jokowi, dan membuat presiden mencopot Jenderal Gatot Nurmantyo," kata Refly.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement