REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Nashih Nasrullah*
Kekompakan negara-negara Arab Muslim melawan musuh bebuyutan, Israel, tampaknya tak akan lagi terulang. Kisah patriotisme perlawanan Arab seperti terekam jelas pada Perang 1948, 1967, dan 1973 tinggal romantika sejarah belaka. Normalisasi hubungan (tathbi’ al-alaqat) yang terjadi antara Uni Emirat Arab dengan Israel, lalu disusul Bahrain, beberapa pekan setelahnya, membuka babak baru pola hubungan negara-negara yang sebagian besar tergabung dalam Liga Arab tersebut dengan Zionis Israel.
Persatuan negara Arab yang dideklarasikan seiring dengan berdirinya Liga Arab 22 Maret 1945, atas semangat Pan-Arabisme, kian jauh panggang dari api. Jika pada artikel sebelumnya, saya menggarisbawahi justifikasi stabilitas keamanan nasional (al-amn al-wathani) di balik kesepakatan normalisasi. Tak hanya itu, pertimbangan yang sama juga melandasi beragam macam hubungan, entah yang berbentuk kerjasama ekonomi atau militer, termasuk meski cuma berupa komunikasi, baik terang-terangan ataupun sembunyi-sembunyi, yang dilakukan pemimpin negara Arab dengan Israel, sekalipun secara de jure, mereka belum mengiyakan baikan dengan Israel.
Selain faktor sifatnya internal itu, ada faktor eksternal yang juga tak bisa dilepaskan begitu saja membaca normalisasi negara-negara Arab dengan Israel. Geopolitik di kawasan yang memaksa negara-negara yang tergabung dalam Liga Arab harus berhadapan dengan rival lainnya, yaitu Iran dan Turki. Secara sederhana, normalisasi yang sekarang terjadi adalah upaya membendung manuver-manuver dua negara itu. Turki yang didukung dengan Partai AKP berideologikan Ikhwanul Muslimin dan Iran dengan kepercayaan Syiahnya.
Ada dua artikel yang menurut saya, cukup mewakili penjelasan mengapa dua negara tersebut disebut sebagai faktor kuat di balik normalisasi. Dua artikel yang ditulis masing-masing oleh Pemimpin Redaksi Journal of America, Abdus Sattar Ghazali dalam Milli Gazette dan Juan Garcia Nieto, di Media Atalayar berbahasa Spanyol yang telah diterjemahkan ke bahasa Arab.
Pemimpin Redaksi Journal of America, Abdus Sattar Ghazali, mengingatkan kembali, Israel dalam beberapa bulan terakhir menyatakan pada para diplomat Arab bahwa Iran sudah bukan lagi ancaman militernya. Sebaliknya, Kepala Mossad Israel Yossi Cohen, malah menyebut bahwa Iran ‘kini sudah bisa dikendalikan’. Pernyataan yang dilontarkannya itu ia kuatkan dengan pendapat Pemimpin Redaksi Middle East Eye, David Hearst. Menurut Hearst, target yang dimaksudkan dari aliansi UEA-Israel bukanlah Iran, melainkan Turki. Pasalnya, pengaruh regional Turki dinilai menjadi ancaman Teluk oleh Israel saat ini.
Merajuk pada artikel yang ditulis Hearst Sabtu lalu ‘A new message resounds in the Arab world: Get Ankara’, Ghazali memang menyetujui jika Israel telah mengubah haluan ancamannya. Menurut Ghazali dalam artikel Aliansi anti-Turki yang muncul di Dunia Arab dan tayang di Milli Gazette, musuh asing dunia Arab saat ini bukanlah Persia ataupun Rusia, melainkan Turki. Menurut dia, hal itu sangat jelas tercermin dari sikap-sikap negara Arab, saat menyampaikan posisi negaranya di konferensi virtual Liga Arab di Kairo.
Pada pertemuan virtual Menteri Luar Negeri Liga Arab saat itu, Menteri Luar Negeri UEA, Anwar Gargash juga menyatakan kekhawatirannya pada Turki. Menurut dia, campur tangan Turki dalam urusan dalam negeri sebagian besar negara Arab, adalah contoh nyata dari campur tangan negatif di kawasan itu.
Tak hanya Menlu UEA. Pernyataan itu juga kembali ditegaskan Menteri Luar Negeri Mesir Sameh Shoukry, yang mengatakan bahwa intervensi Turki di banyak negara Arab merupakan ancaman paling penting bagi keamanan nasional Arab. "Mesir tidak akan berdiam diri dalam menghadapi ambisi Turki yang terwujud di Irak utara, Suriah, dan Libya pada khususnya," katanya saat itu.
Bahkan, Sekretaris Jenderal Liga Arab Ahmed Abu Al-Ghait menyatakan hal serupa, ‘’Periode terakhir menyaksikan tumbuhnya intimidasi dan permusuhan oleh kekuatan regional terhadap kawasan Arab kita, dan peningkatan campur tangan dalam urusan negara-negara Arab kita oleh dua negara tetangga, yaitu Iran dan Turki. " ungkap dia.
Lebih jauh, mengutip The Jordan Times, suara resmi kerajaan pada Juli lalu, Ghazali juga mengingatkan kembali jika "Pasukan Turki dan milisi yang didukung Ankara aktif di tiga negara Arab: Libya, Suriah, dan Irak.
Jika ditilik lebih jauh, fakta dari ambisi teritorial, politik dan ekonomi Turki di wilayah Arab dan sekitarnya memang diupayakan pemimpin Turki sendiri, salah satunya Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan. Ghazali menambahkan, saat ini, Turki juga memang memiliki pangkalan militer di Qatar, Libya, Somalia, Siprus Utara, Suriah, dan Irak. Meskipun, tidak semua dengan persetujuan pemerintah yang sah.
Sementara itu menurut kolumnis Juan Garcia Nieto, dalam artikel yang diterjemahkan Arabi21, persoalan Palestina tidak akan menjadi prioritas Liga Arab saat ini. Agenda sekaligus prioritas utama Liga Arab, yang saat ini lebih banyak dimotori Arab Saudi di bawah komando Muhammad bin Salman (MBS) dan tentu melibatkan Israel, dalam waktu dekat adalah bagaimana menghadang agresivitas Iran dengan ideologi Syiahnya di kawasan, meliputi Irak, Yaman, Suriah, dan Lebanon.
Pembelaan negara-negara Arab terhadap kemerdekaan Palestina terlihat jelas dan tegas dalam forum-forum internasional pada beberapa dekade terakhir, namun beberapa tahun belakangan justru ketakutan terhadap penetrasi Iran perlahan (atau bahkan secara signifikan) menggeser prioritas misi internasional negara-negara Liga Arab, sekalipun dalam berbagai konferensinya Liga Arab tak pernah menghilangkan sekalipun persoalan Palestina dari deretan agenda pertemuan formalitas mereka sejak Konferensi Liga Arab di Inshas, Mesir 1946. Tetapi kini solidaritas Palestinya hanya di atas kertas?
*) Penulis adalah jurnalis republika.co.id