REPUBLIKA.CO.ID, Jual beli emas dengan cara diangsur merupakan salah satu fenomena yang jamak di masyarakat? Bolehkah aktivitas tersebut dilakukan/
Fatwa DSN MUI Nomor 77 memperbolehkan emas (baik perhiasan ataupun logam mulia) diperjualbelikan secara tidak tunai. Misalnya, si A membeli satu gram emas (perhiasan atau logam mulia) seharga Rp 1.200.000 dengan tiga kali angsuran.
Anggota Dewan Syariah Nasional MUI (DSN MUI), Ustadz Oni Sahroni, menjelaskan argumentasi dari fatwa tersebut:
Pertama, penukaran emas harus tunai merujuk pada hadits:
عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ، قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم " الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ ...مِثْلاً بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ "
Dari 'Ubadah bin Shamit: "(Jual beli) emas dengan emas, perak dengan perak ... (dengan syarat harus) sama dan sejenis serta secara tunai. Jika jenisnya berbeda, juallah sekehendakmu jika dilakukan secara tunai." (HR Muslim). Dan hadits dari Umar bin Khattab: "Emas dengan perak adalah riba kecuali secara tunai." (HR Muslim)
Selanjutnya, para ulama berbeda pandangan tentang maksud emas tersebut, apakah sebagai hukum sehingga hanya berlaku pada emas tersebut (pendapat Zahiriyah) atau emas tersebut hanya contoh sehingga berlaku pada barang lain yang memiliki makna sama (mayoritas ulama) (al-Jami' fi Ushul Riba, Rafiq al- Mishri, halaman 132).
Kedua, sesungguhnya penukaran (jual beli) emas harus tunai itu karena emas sebagai alat pembayaran (bukan karena keberadaannya sebagai emas). Sebagaimana pandangan ulama Malikiyah, Syafi'iyah, Ibnu Taimiyah, dan Ibnu Qayyim.
Dalam Bidayah, Ibnu Rusyd mengutip: "'Illat larangan jual beli emas yang harus sama itu (dalam satu jenis) karena sebagai alat pembayaran. Imam Syafi'i sependapat dengan Imam Malik bahwa 'illat larangan jual beli emas dan perak (harus tunai dan sama) bahwa keduanya sebagai alat tukar. Dan 'illat tersebut menurut mereka berlaku apabila penukaran antara jenis berbeda. Tetapi, jika satu jenis, maka harus sama." (Bidayatul Mujtahid, Ibnu Rusyd, 481).
Itu juga karena alat tukar yang digunakan pada masa Rasulullah SAW adalah dinar (emas) dan dirham (perak). Sedangkan, alat tukar resmi (al-'Umlah al-Islamiah al-Muwahadah) itu baru diberlakukan masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan. Berdasarkan pandangan ini (khususnya Imam Malik), setiap alat tukar seperti rupiah dan dolar itu berlaku ketentuan emas sebagai barang ribawi sehingga harus tunai.
Ketiga, emas sebagai perhiasan (bukan alat pembayaran) itu boleh diperjualbelikan secara tangguh, sebagaimana ditegaskan Ibnul Qayyim dan Ibnu Taimiyah. Ibnu al-Qayyim berkata:
"Perhiasan (dari emas atau perak) yang diperbolehkan, karena dengan produksi, statusnya berubah menjadi (seperti) jenis pakaian dan barang, bukan jenis harga. ... dan tidak berlaku pula riba (dalam pertukaran atau jual beli) antara perhiasan dengan harga, sebagaimana tidak berlaku riba (dalam pertukaran atau jual beli) antara uang dan barang lainnya meskipun bu kan je nis yang sama karena dengan pem buat an ini, perhiasan tersebut bu kan lagi har ga dan telah dimaksud kan untuk perniagaan." (I'lam al-Muwaqqi'in; 2/247).
Ibnu Taimiyah dan Ibnu al-Qayyim menegaskan, jika emas tidak lagi di fung sikan sebagai uang, misalnya telah dijadikan perhiasan, emas tersebut berstatus sama dengan barang.
Keempat, Syekh Mani' menjelaskan, emas boleh diperjualbelikan secara tangguh: "Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa fungsi emas dan perak lebih dominan sebagai alat tukar dan nash sudah jelas menganggap kedua nya sebagai harta ribawi, yang jika dipertukarkan harus sama dan tunai ..., kecuali emas atau perak yang sudah dibentuk (menjadi perhiasan) itu tidak lagi sebagai harga, maka boleh ada kelebihan dalam mempertukarkan antara yang sejenis tetapi tidak boleh ada penangguhan." (Buhuts fi al-Iqtishd, Mani', halaman 322).
Uang didefinisikan antara lain, sebagai: "Segala sesuatu yang menjadi media pertukaran dan diterima secara umum, apa pun bentuk dan dalam kondisi seperti apa pun media tersebut." (Buhuts fi al-Iqtishad, al-Mani', Makkah, 1996, halaman 178).
Maka emas atau lainnya berstatus sebagai uang jika masyarakat meneri manya sebagai uang. Saat ini, masyarakat dunia tidak lagi memperlakukan emas sebagai uang, tetapi sebagai barang.