REPUBLIKA.CO.ID, YERUSALEM -- Israel memperketat karantina kedua pada Kamis (24/9) karena kasus virus corona yang terus melonjak. Pihak berwenang telah memerintahkan semua bisnis ditutup, mengharuskan warga tetap tinggal di rumah, dan menjaga jarak.
Selain itu, pemerintah akan membatasi ibadah selama Jewish High Holidays, termasuk demonstrasi politik yang harus digelar di ruang terbuka dan dihadiri tidak lebih dari 20 orang. Langkah pembatasan sosial yang ketat ini mulai berlaku pada Jumat (25/9) sore waktu setempat.
Israel bersiap untuk menjalani Sabbath menjelang hari libur resmi Yom Kippur pada Ahad dan Senin mendatang. Biasanya selama Yom Kippur, Israel akan tampak seperti kota mati di mana bisnis dan bandara ditutup, jalan-jalan kosong, bahkan stasiun radio dan televisi tidak melakukan siaran.
Pemerintah memerintahkan sinagon ditutup selama lockdown berlangsung hingga dua pekan ke depan. Sinagog dapat dibuka untuk ibadah ketika Yom Kippur, yakni hari tersuci dalam kalender Yahudi, namun dengan pembatasan jamaah. Komunitas ultra Ortodoks yang berpengaruh secara politik di Israel menolak pembatasan ibadah selama Jewish High Holidays.
Seorang profesor epidemiologi Hagai Levine memperingatkan, mengizinkan ibadah ketika Yom Kippur di sinagog dapat menyebabkan penularan virus corona secara massal dan menimbulkan klaster baru. Bahkan, dia membandingkan dengan perang tahun 1973 ketika Mesir dan Suriah melancarkan serangan mendadak ke Israel selama Yom Kippur.
“Sekarang, tidak mengherankan. Kami akan mengalami masalah besar dan transmisi besar-besaran di Yom Kippur dalam beberapa hari," ujar Levine.
Levine mengatakan pemerintah seharusnya memberlakukan lockdown total dalam waktu singkat sebagai tanggapan atas keseriusan situasi peningkatan kasus virus corona di Israel. Saat ini, Israel melaporkan hampir 7.000 kasus harian baru dan menjadi negara dengan penularan terburuk di dunia berdasarkan hitungan per kapita.
Israel telah melaporkan total lebih dari 200 ribu kasus sejak pandemi dimulai, termasuk 1.335 kematian. Israel saat ini memiliki lebih dari 50 ribu kasus aktif.
Kementerian Kesehatan Israel menyebut setidaknya 667 orang yang dirawat di rumah sakit berada dalam kondisi serius. Pejabat kesehatan telah memperingatkan rumah sakit akan melebihi kapasitas jika pemerintah tidak segera mengambil kebijakan yang tepat.
Pemerintah pekan lalu memberlakukan karantina nasional yang menutup sekolah, pusat perbelanjaan, hotel, dan restoran. Tetapi pembatasan tersebut mencakup banyak pengecualian termasuk mengizinkan orang meninggalkan rumah mereka untuk bekerja, berolahraga, berdoa, dan demonstrasi publik. Karantina baru diharapkan dapat menghilangkan sebagian besar celah tersebut.
Di sisi lain, para penentang Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menuding pemerintah menerapkan kebijakan karantina kedua untuk mengakhiri aksi protes yang menuntut agar Netanyahu turun dari jabatannya. Para demonstran menilai pemerintah tidak becus dalam menangani pandemi. Mereka juga menyoroti kasus korupsi yang menjerat Netanyahu.