REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Kaum orientalis kerap menuduh bahwa puasa dan menahan rasa laparnya Rasulullah Muhammad SAW sebagai bukti bahwa beliau merupakan orang fakir yang kerap kelaparan. Padahal dalam kenyataannya, hal itu sama sekali tidak benar.
Dalam buku Harta Nabi karya Abdul Fattah As-Samman dijelaskan, Rasulullah mempunyai beberapa mukjizat di mana Allah berkenan menghidangkan makanan kepada beliau. Allah SWT berkenan menganugerahkan mukjizat kepada beliau di antaranya melipat-gandakan makanan dan minuman kepada Nabi.
Mukjizat-mukjizat ini merupakan bukti konkret yang membantah keyakinan kaum orientalis yang menyatakan bahwa Rasulullah adalah seorang yang fakir. Dan dikatakan, saking fakirnya beliau tidak memiliki makanan pokok yang cukup untuk memenuhi kebutuhan beliau sehari-hari.
Kecurigaan kamu orientalis bahwa Nabi seorang yang fakir dan kerap kelaparan dikaitkan dengan hadits-hadits yang berkenaan dengan itu. Diceritakan dalam hadits riwayat Abu Al-Aliyyah bahwa dalam suatu kesempatan Rasulullah keluar rumah. Ketika di pertengahan jalan Madinah, beliau kelelahan sehingga terpaksa berbaring bertumpu pada siku sebelah kiri seraya menjulurkan jari-jarinya.
Tiba-tiba seorang laki-laki dari kaum Anshar melihat Nabi. Lelaki itu kemudian mendatangi Nabi sambil membawakan segelas susu dan meminumkannya kepada beliau. Nabi pun tersadar dan lantas bertanya kepada lelaki tersebut: “Bagaimana kamu mendapatiku?” Laki-laki itu menjawab: “Aku mendapatimu berbaring miring dengan bertumpu pada tangan kirimu seraya menjulurkan jari-jemarimu,”.
Mendengar itu, Nabi pun berkata: اللَّهمَّ أطعِمْ من أَطْعَمَني، واسقِ [5] من سَقانِي “Allahumma ith’am man ath’amani wa isqi man saqani.”
“Ya Allah, berilah makan kepada orang yang berkenan memberiku makan, dan berilah minum kepada orang berkenan memberiku minum,”.
Dalam hadits lainnya yang diriwayatkan oleh Umar bin Khattab, ia berkata: “Aku melihat Rasulullah SAW berkata di rumah Fatimah ketika Hasan dan Husain menangis karena lapar dan sangat menderita. Nabi berkata: siapa yang berkanan mengirimkan sesuatu kepada kami?”.
Mendengar pertanyaan Rasulullah tersebut, maka Abdurrahman muncul dengan membawa sepiring Haisah (makanan yang terbuat daro keju yang dicampur dengan kurma dan mentega. Terkadang keju diganti dengan tepung) dan dua roti, di mana di antara keduanya terdapat makanan berlemak. Kemudian, Rasulullah pun mendoakannya: “Semoga Allah mencukupi kebutuhanmu di dunia. Adapun urusan akhiratmu, maka akulah penjaminnya.”
Dari dua contoh hadis di atas, bagaimana hal itu bisa terjadi? Nabi merupakan kekasih Allah, bagaimana mungkin beliau tidak mendapat makan dan minum dari Tuhannya? Dan bahkan Rasulullah banyak memberi makan kepada para sahabat beliau dan memberi minum karena karunia Allah yang diberikan kepadanya.
عَن ابْنِ عُمَرَ رَضِي اللَّه عَنْهُما قالَ: نَهَى رسُولُ اللَّهِ ﷺ عَنِ الْوِصالِ. قَالُوا: إِنَّكَ تُواصِلُ؟ قَالَ:"إِنِّي لَسْتُ مِثْلَكُمْ، إِني أُطْعَمُ وَأُسْقَى"
Hal ini terjadi sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat Abdullah bin Umar RA, dia berkata: “Rasulullah melarang puasa wishal. Kemudian salah seorang sahabat bertanya: apakah engkau berpuasa wishal wahai Rasulullah? Nabi pun menjawab: ‘Adakah di antara kalian yang sepertiku? Karena sesungguhnya aku senantiasa bersama Tuhanku, Dialah yang memberiku makan dan memberiku minum.”
Dalam sebuah hadis yang populer di kalangan masyarakat kerap dikenal bahwa ketika mengalami rasa lapar, Nabi mengganjal perutnya dengan batu. Hadits ini ditolak Imam Al-Hafizh Abu Hatim bin Hibban yang menyebut terjadi kesalahan dalam perawi di hadis tersebut.
Beliau berargumen bahwa, ketika Rasulullah lapar dan mengikatkan bebatuan ke perutnya dia berkata: “Karena Allah lah yang memberikan makan dan minum kepada utusan-Nya itu ketika berpuasa wishal. Lalu bagaimana Allah membiarkan Nabi kelaparan hingga harus mengikatkan bebatuan pada perutnya?”.
Lalu dia mempertanyakan balik: “Lantas, apa kegunaan bebatuan itu bagi orang yang kelaparan?” Kemudian dia menegaskan bahwa hal itu terjadi akibat kesalahan pada perawinya. Pada dasarnya, dia berargumen, kosakata yang sesungguhnya adalah Al-hujaz (bukan hajar), yang merupakan bentuk jamak dari hujzah (penahan/pengikat).
Di samping itu, Nabi memiliki sejumlah penghasilan dan kerap mendermakan hartanya kepada banyak pihak. Bahkan sepeninggal Nabi pun, istri-istri serta anak cucu Nabi tidak terlantar kelaparan karena adanya harta peninggalan yang Nabi sisihkan untuk mereka.