REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) memperkirakan 47 juta perempuan kehilangan akses kontrasepsi akibat terdampak Covid-19. Data tersebut belum termasuk tujuh juta prediksi kehamilan yang tidak direncanakan.
"Otomatis angka-angka tersebut juga terjadi di Indonesia," kata Deputi Bidang Keluarga Berencana (KB) Kesehatan Reproduksi (KR) BKKBN dr Eni Gustina saat diskusi virtual yang dipantau di Jakarta, Kamis (24/9).
Dia mengatakan, kondisi tersebut belum lagi dipengaruhi angka pertambahan penduduk di Tanah Air yang masih tinggi yakni berkisar 1,49 persen. "Artinya, setiap tahunnya diperkirakan akan ada lima juta bayi yang lahir di Tanah Air. Jumlah tersebut bahkan lebih banyak dari jumlah penduduk Singapura," jelasnya.
Eni mengatakan Singapura berpenduduk hanya 3,5 juta dan Denmark berpenduduk lima juta, sementara Indonesia dalam satu tahun bisa melahirkan penduduk sebanyak satu negara setiap tahunnya. Selain itu menurut dia, saat ini angka fertilitas atau kemampuan menghasilkan keturunan di Indonesia juga masih tergolong tinggi. "Berdasarkan survei angka fertilitas itu 2,4 persen dalam 10 tahun ini angkanya belum turun-turun," ujarnya.
Dia mengatakan berdasarkan data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) pada 2017 penggunaan alat kontrasepsi modern mengalami penurunan dari 61 menjadi 57 persen. "Tentu kita harus berjuang kembali untuk meningkatkan penggunaan kontrasepsi modern," kata dia.
Selain menurunnya penggunaan alat kontrasepsi modern, BKKBN juga mengatakan persoalan angka putus pakai di Tanah Air masih tinggi akibat rendahnya pendidikan yang mempengaruhi kehidupan rumah tangga. "Rendahnya pendidikan tadi mengakibatkan kesadaran masyarakat dalam penggunaan alat kontrasepsi menjadi minim. Padahal, hal itu penting sekali," ujarnya.