REPUBLIKA.CO.ID, KUCHING -- Anggota parlemen senior Malaysia, Datuk Seri Wan Junaidi Tuanku Jaafar, menanggapi pernyataan kontroversial Datuk Seri Anwar Ibrahim. Anwar mengklaim akan menjadi Perdana Menteri Malaysia selanjutnya. Anwar menyatakan pada Rabu (23/9) bahwa dia telah mendapatkan dukungan mayoritas yang kuat untuk membentuk pemerintahan baru. Namun, dia menolak untuk mengungkapkan jumlah atau nama para anggota parlemen itu.
Wan Junaidi mengatakan, secara konstitusional, perdana menteri baru tidak dapat diangkat selama masih ada perdana menteri yang sedang menjabat. Dia menyebutkan, aturan itu ada dalam Pasal 43 dari Konstitusi Federal. Aturan dirancang untuk memberikan sejumlah perlindungan kepada perdana menteri yang duduk agar tidak dicopot oleh siapapun. Menurut Wan Junaidi, ini adalah kunci stabilitas pemerintah karena melindungi hak PM untuk memerintah.
"Bayangkan saja, jika ada anggota Dewan Rakyat yang bisa datang dengan angka-angkanya, boleh bertemu dengan Yang di-Pertuan Agong untuk menuntut dilantik sebagai perdana menteri?" kata Wan Junaidi, dikutip dari laman The Star.
Apabila aturan konstitusi memperbolehkan hal semacam itu, artinya Yang di-Pertuan Agong bisa menunjuk perdana menteri baru dari antara anggota Dewan Rakyat saat menjabat. Wan Junaidi menyebutnya malapetaka untuk negara.
Mantan wakil ketua Dewan Rakyat itu menyampaikan Pasal 43 sudah memuat aturan jelas. Apabila perdana menteri kehilangan dukungan mayoritas, dia harus mengundurkan diri atau meminta Raja membubarkan parlemen.
Setelah menerima permintaan itu, Raja dapat segera membubarkan Parlemen untuk pemilihan berikut yang akan diadakan. Pilihan lainnya, menunda pemilihan perdana menteri selama tenggat waktu berdasarkan kebijaksanaannya.
"Tidak ada di bawah Pasal 43 atau ketentuan lain dari Konstitusi Federal yang mengizinkan Yang di-Pertuan Agong mencopot perdana menteri yang menjabat berdasarkan kekuatan atau alasan asing," kata Wan Junaidi.
Dia menyoroti, tidak ada prosedur khusus untuk mosi tidak percaya di Dewan Rakyat. Namun, kegagalan pemerintah mengeluarkan kebijakan dan undang-undang dasar tertentu, khususnya anggaran, akan diartikan sebagai mosi tidak percaya pada perdana menteri dan pemerintahan.
Dengan kata lain, gagal mengesahkan APBN adalah proses memberi tahu perdana menteri bahwa dia kehilangan dukungan mayoritas anggota Dewan Rakyat. "Tapi itu sama sekali tidak ditafsirkan bahwa parlemen memiliki kekuasaan untuk memberhentikan atau mencopot perdana menteri," ungkapnya.