Jumat 25 Sep 2020 08:11 WIB

Bahaya di Depan Mata Jika Pilkada tak Ditunda

PBNU, Muhammadiyah, Komnas HAM merekomendasikan pilkada ditunda.

Pilkada Serentak (Ilustrasi)
Foto: Republika/ Wihdan
Pilkada Serentak (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Gun Gun Heryanto, Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute dan Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta

Gelombang pernyataan sikap masyarakat atas penyelenggaraan pilkada kian menggema di mana-mana. Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan PP Muhammadiyah, Komnas HAM, dan sejumlah organisasi lain telah merekomendasikan agar pilkada serentak di 270 daerah ditunda, dengan alasan bahaya pandemi Covid-19.

Hal senada disampaikan banyak tokoh, termasuk wakil presiden 2014-2019, Jusuf Kalla. Ini sinyal kuat kekhawatiran publik kian meluas atas ketidaksiapan penyelenggaraan pilkada pada musim pandemi. Benang merah permintaan penundaan pilkada terlihat jelas, yakni kekhawatiran tinggi pilkada menjadi klaster baru penyebaran Covid-19.

Dasar pertimbangan

Opini publik hari-hari ini, menunjukkan nada menguat mendesaknya penundaan. Seorang Jusuf Kalla atau PBNU dan PP Muhammadiyah tentu memikirkan secara matang turut dalam mengingatkan bahaya di depan mata ini.

Jika merujuk ke pakar opini publik, Daniel Yanke lovich, dalam bukunya Wicked Problems, Workable Solutions: Lesson from a Public Life (2015), proses pembentukan opini publik selalu melalui tujuh tahap. Yakni, munculnya kesadaran, peningkatan urgensi isu atau masalah yang diangkat, pancapaian solusi yang ditawarkan, memantik berpikir dengan landasan pengharapan.

Lalu, penguatan pilihan, penentuan sikap intelektual, serta membuat keputusan yang bisa dipertanggungjawabkan secara moral dan emosional. Artinya, keputusan untuk menyarankan, memberi masukan atau solusi alternatif bukan karena pertimbangan asal-asalan, melainkan karena telaah situasi risiko tinggi yang mesti segera diantisipasi.

photo
Kandidat vaksin COVID-19 Sinovac, CoronaVac ditampilkan di Sinovac Biotech selama kunjungan media yang diselenggarakan pemerintah di Beijing, China, 24 September 2020. Sinovac adalah pembuat vaksin China yang mengembangkan kandidat vaksin COVID-19 yang disebut CoronaVac. - (EPA-EFE/WU HONG)

Menurut penulis, ada sejumlah argumen tasi mengapa pilkada layak ditunda. Pertama, pandemi yang melambung tinggi tidak dibarengi kesiapan penyelenggaraan pilkada dengan pendekatan manajemen krisis kebencanaan.

Misalnya, kampanye. Masih tampak jelas, aturan mainnya tidak banyak berubah signifikan dengan penyelenggaraan kampanye pada musim normal. KPU masih memungkinkan kerumunan massa seperti menggelar konser.

Pun sejumlah aturan teknis lain yang membuka peluang penularan tinggi, seperti pencoblosan, penghitungan suara, dan pascapencoblosan yang kerap diwarnai kerumunan massa seperti demonstrasi penolakan hasil pilkada.

Sejumlah aturan di PKPU Nomor 6/2020 masih menyisakan bolong besar untuk penye lenggaraan pilkada di bawah ancaman Covid-19. Penundaan bisa menjadi momentum penguatan instrumen aturan sehingga lebih siap untuk menyelenggarakan pilkada pada musim pandemi. Kedua, banyaknya pihak terkait langsung penyelenggaraan pilkada yang terpapar positif Covid-19.

Setelah Kamis (10/9), Komisioner KPU Evi Novida Ginting Manik dinyatakan positif Covid-19, disusul Ketua KPU RI Arief Budiman, Kamis (17/9), dan Komisioner KPU Pramono Ubaid Tanthowi yang dinyatakan positif pada Sabtu (19/9).

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement