REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Dua faksi terbesar Palestina, Hamas dan Fatah, telah sepakat untuk menyelenggarakan pemilu sebagai upaya penyelesaian friksi internal negara tersebut. Pemungutan suara diharapkan dapat dilakukan dalam enam bulan mendatang.
"Kami telah sepakat untuk terlebih dahulu mengadakan pemilihan legislatif, kemudian pemilihan presiden Otoritas Palestina, dan akhirnya dewan pusat Organisasi Pembebasan Palestina," kata Sekretaris Jenderal Fatah Jibril Rajoub di Istanbul, Turki, pada Kamis (24/9) dikutip laman Aljazirah.
Anggota Komite Sentral Fatah Azzam al-Ahmad mengungkapkan Fatah dan Hamas sepakat pemilu akan turut dilangsungkan di Jalur Gaza dan Yerusalem. "Tanpa Yerusalem, tidak akan ada pemilihan umum," ujarnya.
Perdana Menteri Palestina Mohammad Shtayyeh menyambut kesepakatan yang telah dicapai Hamas dan Fatah. "Kami menyambut baik suasana positif yang telah membayangi dialog nasional yang telah berlangsung di Istanbul selama dua hari antara Fatah dan Hamas yang telah sepakat untuk mengadakan pemilihan umum," ucapnya.
Shtayyeh menyebut pemerintahannya siap menyediakan semua persyaratan guna menyukseskan perhelatan pemilu. Shtayyeh menilai pemilu adalah pintu gerbang untuk memperbarui kehidupan demokrasi dan memperkuat persatuan nasional dalam menghadapi bahaya serius dan eksistensial yang mengancam perjuangan Palestina.
Rapat sekretaris jenderal faksi-faksi akan segera digelar untuk mengumumkan detail kesepakatan Hamas dan Fatah. Pada kesempatan itu mereka akan turut membahas mekanisme kerja hingga pemilu digelar.
Jika terlaksana, pemilu tersebut akan menjadi yang perdana dalam 15 tahun. Pemilihan parlemen Palestina terakhir diadakan pada 2006. Ketika itu, di luar dugaan, Hamas memperoleh kemenangan telak.
Delegasi Hamas dan Fatah telah melakukan pertemuan di Istanbul. Tujuan dari kegiatan itu adalah membahas upaya penyelesaian friksi di internal Palestina yang telah berlangsung selama sekitar 15 tahun. Perselisihan antara Hamas dan Fatah telah berlangsung sejak 2006, tepatnya ketika Hamas memenangkan pemilu parlemen.
Namun Fatah menolak dan memboikot hasil tersebut. Hamas kemudian mendepak Fatah dari Jalur Gaza. Sejak saat itu, kedua faksi tersebut memimpin dua wilayah yang berbeda. Hamas mengontrol Gaza dan Fatah memimpin Tepi Barat.
Beberapa upaya rekonsiliasi untuk memulihkan hubungan antara kedua faksi telah dilakukan. Namun usaha tersebut gagal karena Hamas selalu mengajukan syarat-syarat tertentu kepada Otoritas Palestina bila hendak berdamai.
Pada Oktober 2017, Hamas dan Fatah akhirnya menandatangani sebuah kesepakatan rekonsiliasi di Kairo, Mesir. Penandatanganan kesepakatan ini menjadi simbol keinginan kedua faksi untuk berdamai setelah 10 tahun berselisih.
Kala itu Hamas akhirnya menyatakan kesiapannya untuk memulihkan hubungan dengan Fatah tanpa prasyarat apapun. Mereka bahkan membubarkan komite administratif yang sebelumnya bertugas untuk mengelola pemerintahan di Jalur Gaza.
Hal itu dilakukan agar Otoritas Palestina dapat mengambil alih tugas pemerintahan di daerah yang diblokade tersebut. Namun seperti sebelumnya rekonsiliasi tersebut kembali mengalami kebuntuan.