REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV -- Yossi Beilin, yang terlibat dalam negosiasi jalur belakang Kesepakatan Oslo 1993, menulis surat terbuka kepada presiden Palestina Mahmoud Abbas. Lewat suratnya Beilin meminta Abbas untuk tetap fokus pada perdamaian. Tulisan tersebut dimuat di Al-Monitor pada Kamis (24/9).
Beilin memulai dengan menyampaikan bahwa tepat 25 tahun yang lalu, Abbas diam-diam datang ke kantornya di Tel Aviv untuk merayakan selesainya rancangan perjanjian permanen Palestina-Israel setelah proses panjang selama dua tahun. Dua negosiator di pihak Abbas adalah Hussein Agha dan Ahmed Khalidi. Sementara perwakilan Beilin adalah Yair Hirschfeld dan Ron Pundak. "Kami bersulang dengan jus jeruk, karena Anda (Abbas) tidak pernah minum alkohol," tulis Beilin.
Abbas sangat senang dengan kenyataan bahwa untuk pertama kalinya, rencana rinci untuk perdamaian, disertai dengan peta, disepakati oleh orang Israel dan Palestina. Yosi berjanji untuk menunjukkannya kepada Perdana Menteri Israel saat itu Yitzhak Rabin. Beilin ketika itu menjabat sebagai menteri ekonomi dan perencanaan.
"Anda (Abbas) berjanji untuk menunjukkannya (rancangan perjanjian itu) kepada Presiden Yasser Arafat. Beberapa hari kemudian, Rabin dibunuh, dan rencananya disimpan oleh penggantinya, Shimon Peres. Makalah kami, yang dikenal sebagai Perjanjian Beilin-Abu Mazen, menjadi landasan dari semua rencana perdamaian selanjutnya, dari Parameter Clinton tahun 2000 hingga rencana Trump yang sangat bermasalah pada 2020," jelas Beilin.
Beilin dan Abbas bertemu untuk pertama kalinya hanya dua tahun sebelumnya, di Gedung Putih, setelah upacara penandatanganan Perjanjian Oslo. Keduanya berusaha sebaik mungkin untuk mempersingkat periode interim (lima tahun yang ditentukan dalam Perjanjian Oslo hingga penandatanganan perjanjian permanen) agar menghindari kemungkinan kaum fanatik di kedua belah pihak menggagalkan perdamaian. Namun upaya itu gagal.
"Kita gagal. Mereka berhasil membuat perjanjian interim menjadi sangat panjang. Terlepas dari semua rintangan, masih merupakan peran kami untuk mencapai solusi permanen berdasarkan pekerjaan penting yang telah dilakukan untuk mewujudkannya selama bertahun-tahun," katanya.
Beilin menjelaskan, solusi semacam itu akan didasarkan pada perbatasan sebelum perang 1967 dengan modifikasi kecil dan setara dan mendirikan negara Palestina yang nonmiliterisasi tetapi sepenuhnya merdeka. Ini akan menimbulkan tantangan bagi para pengungsi Palestina, melalui cara-cara finansial dan simbolis.
Ibu kota Palestina akan berada di Yerusalem Timur, tetapi kota dari kedua ibu kota itu akan dibuka, dan tempat-tempat suci akan ditangani dengan cara yang menghormati penganut ketiga agama monoteistik. Semua harus dipertimbangkan secara serius terkait konfederasi Palestina-Israel untuk memungkinkan solusi dua negara.
"Perkembangan terbaru yang melibatkan perjanjian normalisasi antara Israel dan beberapa negara Arab membuat Anda marah, karena percaya seperti yang Anda lakukan bahwa dunia Arab tidak akan menormalisasi hubungan dengan Israel selama tidak ada perjanjian damai antara Palestina dan Israel. Anda sekarang mengerti bahwa tidak mungkin mempertahankan komitmen kolektif seperti itu selama lebih dari 18 tahun," paparnya.
Beilin dalam surat terbuka itu, meyakini Abbas memahami bahwa mengutuk, menggunakan julukan terhadap negara-negara Arab ini, memanggil kembali duta besar Palestina dari negara-negara tersebut dan menentang pemerintahan Amerika, merupakan langkah yang tidak kondusif.
"Ini adalah momen di mana kita berdua, Israel dan Palestina yang percaya bahwa perdamaian adalah bagian penting dari kepentingan nasional kita, harus memahami bahwa solusi akan datang dari kita," jelasnya.
Tak satu pun orang menjadi lebih muda. Generasi Palestina di kamp-kamp pengungsi yang miskin dan padat penduduk berarti bahwa kepemimpinan Palestina saat ini perlu mengambil tanggung jawab yang sangat berat. Situasi ketika minoritas Yahudi mendominasi mayoritas warga Palestina merupakan pukulan besar bagi gagasan Israel sebagai negara Yahudi-Demokrat. Hanya Palestina dan Israel yang dapat menebus satu sama lain.
Dan pada akhirnya, Palestina dan Israel berada di sebidang tanah yang sangat kecil dengan narasi yang saling bertentangan. "Kami yakin tentang kebenaran cara kami yang berbeda tetapi cukup dewasa untuk memuat cerita dari sisi lain," tulis Beilin.