Jumat 25 Sep 2020 17:45 WIB

 KSPI: RUU Cipta Kerja tak Boleh Ubah UU Ketenagakerjaan

Dalam klaster ketenagakerjaan RUU Ciptaker akan menghilangkan sejumlah hal.

Rep: Nawir Arsyad Akbar/ Red: Agus Yulianto
Said Iqbal, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia
Foto: ROL/Fian Firatmaja
Said Iqbal, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) tetap tegas menolak RUU Cipta Kerja. Khususnya, pada klaster ketenagakerjaan yang dapat mengubah dan mengurangi isi dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

“Tidak boleh sedikitpun mengubah apalagi mengurangi isi UU Nomor 13/2003,” tegas Presiden KSPI, Said Iqbal lewat keterangan tertulisnya, Jumat (25/9).

Dalam klaster ketenagakerjaan RUU Cipta Kerja, kata Said, akan menghilangkan sejumlah hal yang merugikan kelompok buruh. Beberapa di antaranya yang hilang adalah hak upah atas cuti, upah minimum kabupaten/kota (UMK), upah minimum sektoral kabupaten (UMSK), cuti haid, dan dipermudahnya pemutusan hubungan kerja (PHK).

“TKA buruh kasar mudah masuk ke Indonesia mengancam lapangan kerja untuk pekerja lokal, jaminan kesehatan, dan pensiun hilang dengan berlakunya sistem kontrak. Serta sanksi pidana dihapus,” ujar Said.

Pihaknya mengaku, lebih terbuka dengan adanya diskusi untuk mengatur sejumlah poin yang belum ada dalam UU 13/2003. Beberapa di antaranya, seperti penguatan fungsi pengawasan perburuhan, peningkatan produktivitas melalui pelatihan, hingga pengaturan regulasi pekerja industri perusahaan rintisan atau startup.

“Dalam rangka meningkatkan investasi dan menghadapi revolusi industri 4.0, maka mari kita dialog untuk dimasukkan dalam omnibus law,” ujar Said.

Sebelumnya, Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Supratman Andi Agtas mengatakan, pembahasan RUU Cipta Kerja sudah mencapai 95 persen. Tersisa satu klaster yang belum dibahas, yaitu ketenagakerjaan.

Dia menjelaskan, omnibus law RUU Cipta Kerja ini diharapkan menjadi regulasi untuk membuka lapangan pekerjaan dan investasi. Sebab diakuinya, selama ini masih ada tumpang tindih peraturan di Indonesia yang harus diselesaikan.

"Omnibus yang dipakai satu-satunya cara bisa melakukan kegiatan harmonisasi dan sinkronisasi rancangan peraturan di Indonesia yang terlalu banyak," ujar Supratman.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement