REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Firman Noor memandang kecurangan atas protokol kesehatan akan jadi fenomena yang berpeluang besar terjadi di Pilkada 2020. Hal ini didasarkan pada tren melakukan kecurangan sepanjang praktek politik di Indonesia.
Pemerintah memutuskan Pilkada 2020 tetap dilaksanakan pada 9 Desember meski ditentang oleh sejumlah ormas keagamaaan. Pilkada serentak tahun ini diadakan di 270 daerah dengan rincian 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota. Firman memandang kepastian kepatuhan protokol kesehatan di semua wilayah yang mengadakan Pilkada sulit diwujudkan.
"Pilkada kita ini memang manipulatif, apa tiba-tiba jadi tidak manipulatif? Kan tidak begitu. Tren seperti (kecurangan pada protokol kesehatan) itu ada, apalagi kontestannya banyak, tidak semuanya efektif pemantauannya," kata Firman saat dihubungi Republika, Jumat (25/9).
Diketahui, revisi PKPU Nomor 13/2020 menyatakan bahwa seluruh kegiatan yang berpotensi mengundang kerumunan seperti pagelaran konser musik, bazar dan perlombaan, sepenuhnya dilarang. Dalam PKPU itu para calon kepala daerah di imbau melakukan kegiatan dalam bentuk lain seperti melalui virtual.
Firman menilai esensi protokol kesehatan bukan masalah peraturan saja tapi kesadaran masyarakat. Ada tantangan berat meyakinkan paslon, timses dan masyarakat guna menaatinya.
"Sanksi penting tapi prakteknya buka praktek kecurangan. Karena mindset kita lihat kondisi seperti normal saja sekarang belum siap dengan kondisi yang ada," ujar Firman.
Selain itu, Firman menyoroti keramaian identik dengan pilkada. Keduanya seolah sulit dipisahkan.
"Mereka harapkan ada bandwagon (ikut-ikutan, red) efek karena dengan keramaian (paslon) dianggap hebat, banyak pendukungnya," ucap Firman.