REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nur Hasan Murtiaji, Jurnalis Republika
Dengan menggunakan dua sepeda motor kami diboncengi menuju tempat perayaan milad GAM. Dari jalan utama Banda Aceh-Lhokseumawe, kami dibawa masuk ke jalan desa yang melintasi persawahan, kebun kelapa, dan akhirnya sebuah bukit.
Sepanjang perjalanan itu, kami melewati pemeriksaan GAM, yang tampak serombongan sekitar tujuh anggota GAM, dengan menenteng senjata, memelototi kami. Dengan bahasa Aceh, orang yang memboncengi kami itu meyakinkan mereka bahwa kami adalah wartawan yang akan meliput GAM.
Pemeriksaan pertama GAM berhasil kami lalui seteIah melewati kebun dengan pohon kelapa yang banyak, kami sampai di pemeriksaan GAM kedua. Di sinilah kami berganti motor.
Saya dan rekan jurnalis foto Republika, Rusdy Nurdiansyah, dibonceng berdua. Yang membonceng kami berbaju loreng khas TNI atau lebih tepatnya seragam Kopassus, tapi di lengan bajunya ada tulisan TNA (Tentara Nasional Aceh).
Dalam perjalanan, kami sempat ditanya olehnya, "Kamu kenal saya nggak?" Belum sempat kami jawab, dia menjawab, "Saya desertir Kopassus.”
Kami diantar hingga sampai di sebuah lapangan, tapi penuh ditumbuhi pohon kelapa. Pohon kelapa itu tampaknya cukup efektif menyembunyikan aktivitas di bawah rimbun dedaunannya, jika dipantau dari atas menggunakan pesawat atau helikopter.
Di situlah perayaan milad GAM digelar. Sepanjang masuk di kampung itu, bendera GAM berjajar rapi, seolah seperti menyambut perayaan 17 Agustusan.
Kami pun menjalani prosesi milad itu dengan serius. Menyimak acara demi acara. Hingga sampai pada acara sambutan dari tokoh GAM, Hasan Tiro. Sambutan yang dibacakan komandan upacara, Tengku Darwis Jeunib, itu dinyatakan, "Kita harus bebas dari penjajahan Jawa."
Merinding begitu saya mendengar pernyataan itu. Bukan atas substansinya, melainkan karena sayalah satu-satunya orang Jawa yang berada di tempat itu. Apalagi, dengan nada bicara saya yang masih medok dengan dialek Jawa.
*Disarikan dari buku Cerita di Balik Berita, 99 Kisah Wartawan Republika