REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting Pangi Syarwi Chaniago memandang kualitas Pilkada 2020 yang diselenggarakan di masa pandemi Covid-19 akan menurun. Penyebabnya terdapat banyak keterbatasan Pilkada yang membuat pelaksanaannya tak maksimal.
Pangi menyayangkan kalau pilkada tetap dipaksakan untuk diteruskan di tengah pandemi. Menurutnya, potensi serangan fajar makin besar karena paslon ogah mengeluarkan uang untuk kampanye yang dibatasi protokol kesehatan.
"Jelas ini bukan pilkada yang mudah, kondisi yang tidak normal, kuat-kuatan soal daya tahan tubuh, kuat-kuatan logistik untuk berfikir melakukan beli suara rakyat (vote buying) atau main di ujung untuk serangan fajar," kata Pangi pada Republika.co.id, Jumat (25/9).
Selain itu, Pangi menyoroti kampanye daring sulit berjalan efektif karena tidak meratanya sinyal di daerah. Sehingga menurutnya, pilkada kali ini tak akan berkualitas.
"Calon kepala daerah tidak maksimal menyampaikan program, visi dan misi kepada masyarakat karena terbatasnya ruang gerak untuk menyapa dan menyalami masyarakat," ujar Pangi.
Atas dasar itu, Pangi mendukung jika pemerintah memilih menunda Pilkada demi mencegah penularan Covid-19. Hal itu dirasa lebih bijak dalam menyikapi pandemi ini.
"Menyelamatkan dan melindungi nyawa rakyat menjadi skala prioritas kelas wahid, pemulihan ekonomi bisa ditunda, pilkada bisa ditunda, tapi nyawa rakyat tak bisa ditunda," ucap Pangi.
Pemerintah memutuskan Pilkada 2020 tetap dilaksanakan pada 9 Desember meski ditentang oleh sejumlah ormas keagamaaan. Pilkada serentak tahun ini diadakan di 270 daerah dengan rincian 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota.
Diketahui, revisi PKPU Nomor 13/2020 menyatakan bahwa seluruh kegiatan yang berpotensi mengundang kerumunan seperti pagelaran konser musik, bazar dan perlombaan, sepenuhnya dilarang. Dalam PKPU itu para calon kepala daerah di imbau melakukan kegiatan dalam bentuk lain seperti melalui virtual.