REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi II DPR Mardani Ali Sera menilai, Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 13 Tahun 2020 rawan digugat ke Mahkamah Agung. Sebab, kedudukannya tak lebih tinggi dari Undang-Undang tentang Pilkada.
Untuk itu, ia mendesak Presiden Joko Widodo untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) terkait pelarangan kampanye secara tatap muka selama Pilkada 2020. Sebab dalam Pasal 65 ayat 1 UU Pilkada, masih diperbolehkan pengumpulan massa dalam rangka kampanye.
"Ketika undang-undang masih membolehkan Pilkada dilaksanakan dengan pentas seni, musik, jalan sehat, maka ini (PKPU 13/2020) sangat mudah digugat," ujar Mardani dalam diskusi daring, Sabtu (26/9).
Dengan adanya perppu, dasar hukum larangan terhadap kampanye tatap muka selama pandemi Covid-19 akan lebih kuat. Sehingga pasangan calon dan pendukung akan berpikir dua kali sebelum mengerahkan massa.
"Harus Perppu, dalam Pilkada tidak bisa bersifat himbauan saja. Dia harus tegas dan punya payung hukum yang tegas," ujar politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu.
Menurutnya, penerbitan Perppu paling lama memakan waktu satu minggu. Jika terealisasi, aparat penegak hukum dapat menegakkan pelanggar kampanye karena adanya payung hukum yang kokoh.
"Akan sangat sulit mendisiplinkan paslon, pendukung hingga massa dengan protokol Covid-19 tanpa ada payung hukum yang tegas," ujar Mardani.
Diketahui, masa kampanye dimulai pada 26 September sampai dengan 5 Desember 2020. Selanjutnya, masa tenang dilaksanakan mulai 6 Desember sampai dengan 8 Desember. Selanjutnya, waktu pencoblosan pada 9 Desember. Di mana terdapat 270 daerah yang akan menyelenggarakan pemilihan. Dengan rincian sembilan provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota.
Anggota Bawaslu Muhammad Afifuddin meminta agar kepolisian tegas dalam membubarkan kerumunan yang terjadi selama kampanye. "Dalam konteks mau Pilkada mau apa pun kerumunan orang ini sebenernya domainnya kepolisian dalam konteks membubarkan," ujarnya.
Selama tahapan Pilkada 2020, Bawaslu sudah bekerja dalam menertibkan sejumlah aturan selama tahapannya berlangsung. Namun karena minimnya anggota dan kewenangan, terkadang membuat pasangan calon, kader, dan pendukungnya abai.
"Itu yang dilakukan di banyak daerah, kadang-kadang tidak bisa. Tidak mau didengarkan juga orang ribuan, kemudian Bawaslunya (sedikit)," ujar Afifuddin.