Ahad 27 Sep 2020 01:16 WIB

Revisi UU Kejaksaan, Pakar: Batasi Kewenangan Jaksa

Pakar mengatakan revisi UU Kejaksaan jangan beri kewenangan berlebihan jaksa

Praktisi Hukum, Abdul Fickar Hadjar
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Praktisi Hukum, Abdul Fickar Hadjar

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menilai, revisi Undang-Undang Kejaksaan jangan sampai memberikan kewenangan yang berlebihan terhadap jaksa dalam penegakan hukum. Ia menegaskan, jangan sampai ada kesan jaksa serahkah terhadap kewenangan dalam penegakan hukum.

"Ya serakah, terkesan jaksa selain menjadi penuntut, penyidik juga, advokat juga. Karena itu, harus dibatasi," kata Fickar di Jakarta, Sabtu (26/9).

Baca Juga

Menurutnya, ada kesan Kejaksaan serakah terhadap wewenang dan tugas dalam penegakan hukum, dengan mengambil banyak tugas dan fungsi melalui revisi UU Nomor 16/2004 tentang Kejaksaan. Revisi UU Kejaksaan menjadi sorotan karena ada perluasan wewenang bagi jaksa, yakni bertindak dalam fungsi penyelidikan dan penuntutan sebagaimana tertulis di Pasal 1 Ayat (1).

Dalam Pasal 1 Ayat (1) RUU Kejaksaan disebutkan bahwa jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh UU untuk bertindak dalam fungsi penyelidikan dan penyidikan, penuntutan, pelaksana putusan pengadilan, pemberian jasa hukum, penyelesaian sengketa di luar pengadilan, dan pengacara negara serta wewenang lain berdasarkan UU.

Menurutnya, kewenangan jaksa sebagai penyidik harus dibatasi dan diletakkan pada proporsinya, yakni hanya menangani perkara tindak pidana tertentu saja. Selain polisi, katanya, selama ini penyidikan juga bisa dilakukan oleh PPNS atau penyidik PNS Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

"Jadi, jika ingin diberikan fungsi penyidikan, itu hanya pada tindak pidana tertentu saja, seperti tipikor (tindak pidana korupsi) dan TPPU (tindak pidana pencucian uang). Jadi harus jelas dan pasti dalam perkara apa, bukan dalam arti penyidik secara umum," ujarnya.

Selain itu, ia mengatakan wewenang jaksa sebagai ahli hukum lain (tata usaha negara perdata) juga harus bersifat konsultatif saja bagi pemerintah karena fungsi operasionalnya merupakan bagian dari wilayah kerja profesi advokat.

"Jangan mengambil peran profesi advokat," ucapnya.

Di samping itu, Fickar mengatakan secara universal di belahan dunia manapun bahwa jaksa hadir dalam konteks sistem penegakan hukum yang berfungsi sebagai penuntut umum tunggal dan pelaksana eksekusi hukumannya.

Fickar juga turut mengkritisi fungsi intelijen kejaksaan, yakni menyadap tidak boleh diberikan secara umum tanpa izin pengadilan karena jaksa dalam status dominis litis hanya dapat mengendalikan khusus perkara pidana. "Karena itu, penyadapan pun harus dalam konteks perkara pidana dan tetap harus ada izin pengadilan," tandasnya.

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement