REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Karta Raharja Ucu, jurnalis Republika
Beberapa kali naik pesawat untuk liputan, baru kali ini saya berangkat dari ruang VVIP. Penyebabnya yang akan saya kawal untuk liputan kali ini adalah seorang menteri yang akan bertugas ke Surabaya, Jawa Timur dan menggunakan pesawat komersil.
Malam hari sebelum keberangkatan, saya dikontak tim humas kementerian jika pesawat berangkat pukul 09.15 WIB, estimasi keberangkatan dari Terminal Rawamangun menggunakan Bus Damri ke Bandara Soekarno-Hatta adalah 1,5 jam. Keesokan harinya saya pun naik Bus Damri pukul 05.30 wib.
Namun, Bus Damri yang saya tumpangi tersendat kemacetan di jalan tol karena kecelakaan. Waktu tentu saja tidak bisa berhenti berputar. Berkali-kali saya telepon tim humas tidak terjawab. Saya kemudian memberikan kabar lewat SMS.
Ketinggalan pesawat bukan perkara remeh, seperti halnya ketinggalan angkot yang jumlah banyak dan jadwal nariknya kapan saja. Beruntung saya sampai di Bandara Soekarno-Hatta pukul 08.30. Namun bayang-bayang tertinggal pesawat yang membawa saya ke Surabaya masih mengikuti.
Terminal keberangkatan di Bandara Soekarno Hatta, pagi sekitar pukul 08.30 medio 2009-an, dijejali para penumpang, sopir taksi, dan petugas bandara. Saya turun terminal 3 dan sudah dinanti sang menteri di ruang tunggu VVIP. Karena belum tahu letak ruang tunggu VVIP dan terburu-buru, saya yang saat itu memakai setelan kemeja putih yang saya masukkan ke dalam celana semiformal, bertanya ke seorang petugas bandara perempuan yang sedang melintas. Namun, petugas itu langsung menolak sebelum saya bertanya dengan cara melambaikan tangannya.
"Maaf mas, saya buru-buru."
"Mba, maaf, saya cuma mau tanya ruang tunggu VVIP posisinya di mana, saya takut ketinggalan pesawat ini."
"Owh maaf mas, saya kira mas sales," sambil melihat tas saya yang berbentuk kotak. Tas yang saya bawa sejatinya tas kamera berbentuk kotak. Saat itu saya tidak membawa koper karena liputan kali ini dijadwalkan pulang pergi di hari yang sama. "Itu sudah dekat di depan yang ada tembok bata merah, masuk ke sebelah kiri," sambung petugas perempuan yang rambutnya disanggul.
Sompret, dalam hati saya. Dikira tas ini isinya kosmetik.
Ketika sampai di ruang VVIP kejadian serupa pun terulang. Sebelum melewati metal detector, saya dicegat petugas bandara berbaju biru langit lengkap dengan atribut topinya.
"Permisi mas, mau ke mana?"
"Mau ke dalam pak."
"Owh maaf mas, kalau mau menawarkan produk jangan di sini. Ini ruang tunggu VVIP."
"Lah siapa yang mau jualan, pak. Saya mau ke Surabaya, saya ditunggu pak menteri di dalam."
Sialnya, saya belum memegang tiket atau pun salinan tiket. Maklum saat itu belum ada WhatsApp atau BBM untuk menerima foto. Tiket saya masih berada di tangan tim humas kementerian yang berkata akan diberikan di bandara, ketika ia menelepon saya malam hari sebelumnya.
"Saya belum pegang tiket pak, tiketnya ada di dalam."
"Maaf mas, kalau tidak punya tiket, Anda tidak bisa masuk."
Waktu sudah nyaris pukul 09.00, sementara pesawat dijadwalkan berangkat pukul 9.15. Seharusnya para penumpang sudah masuk ke dalam pesawat. Berdebat pun percuma, pikir saya. Tak lama setelah menelepon tim humas, seorang berpakaian safari keluar sembari menegur. "Pesawatnya belum berangkat kok, Mas," kata dia sembari berbicara ke petugas bandara, jika saya wartawan yang akan meliput kegiatan menteri.
"Maaf mas, saya kira mas sales kosmetik tadi," petugas itu sambil melirik ke arah tas kamera saya yang berbentuk kotak.
Gundulmu, kata saya dalam hati.
Beruntung pesawat sempat delay karena cuaca buruk, sehingga saya sempat bertemu dengan sang menteri yang menunggu di salah satu ruangan bersama rombongan. Saya pun meminta maaf karena terlambat.