REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Para ilmuwan telah menemukan antibodi yang dinilai sangat efektif melawan virus corona baru, SARS-CoV-2, penyebab Covid-19. Antibodi tersebut, menurut para ilmuwan, dapat mengarah pada pengembangan vaksinasi pasif untuk Covid-19.
Tidak seperti vaksinasi aktif, vaksinasi pasif melibatkan pemberian antibodi siap pakai, yang akan terdegradasi setelah beberapa waktu. Namun, peneliti mengatakan bahwa efek dari vaksinasi pasif nyaris langsung, sedangkan vaksinasi aktif itu harus dibangun terlebih dahulu.
Penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Cell ini juga menunjukkan bahwa beberapa antibodi SARS-CoV-2 mengikat sampel jaringan dari berbagai organ, yang berpotensi memicu efek samping yang tidak diinginkan. Para ilmuwan di German Center for Neurodegenerative Diseases (DZNE) and Charite di Universitatsmedizin Berlin telah mengisolasi hampir 600 antibodi yang berbeda dari darah individu yang telah mengidap Covid-19.
Melalui tes laboratorium, mereka dapat mempersempit jumlah ini menjadi beberapa antibodi yang sangat efektif dalam mengikat virus tersebut. Para peneliti kemudian menghasilkan antibodi ini secara artifisial menggunakan kultur sel.
Mereka mengatakan, antibodi penetral yang mengikat virus, seperti yang diungkapkan oleh analisis kristalografi, kemudian mencegah patogen memasuki sel dan berkembang biak. Selain itu, pengenalan virus oleh antibodi membantu sel-sel kekebalan (imun) untuk menghilangkan patogen.
Penelitian dilakukan pada hamster, yang seperti halnya manusia, rentan terhadap infeksi SARS-CoV-2. Dari penelitian itu menegaskan efektivitas tinggi dari antibodi yang dipilih.
"Jika antibodi diberikan setelah infeksi, hamster paling banyak mengalami gejala penyakit ringan. Jika antibodi diterapkan secara preventif, sebelum infeksi, hewan tidak sakit," kata koordinator proyek penelitian, Jakob Kreye, dilansir di Times Now News, Ahad (27/9).
Para peneliti mencatat bahwa mengobati penyakit menular dengan antibodi memiliki sejarah yang panjang. Untuk Covid-19, pendekatan ini juga tengah diselidiki melalui pemberian plasma yang berasal dari darah pasien yang sembuh. Dengan plasma tersebut, antibodi dari para donor ditransfer.
"Idealnya, antibodi yang paling efektif diproduksi dengan cara yang terkontrol pada skala industri dan dalam kualitas yang konstan. Inilah tujuan yang kami kejar," kata penulis pertama penelitian tersebut. Momsen Reincke.
Pemimpin kelompok penelitian di DZNE dan juga seorang dokter senior di Charite Universitatsmedizin Berlin, Harald Pruss, mengatakan bahwa tiga dari antibodi mereka sangat menjanjikan untuk pengembangan klinis.
"Dengan menggunakan antibodi ini, kami telah mulai mengembangkan vaksinasi pasif melawan SARS-CoV-2," kata Pruss.
Selain pengobatan pada pasien, mereka mengatakan perlindungan preventif bagi individu sehat yang pernah melakukan kontak dengan orang yang terinfeksi juga merupakan penggunaan potensial. Sementara berapa lama perlindungan tersebut bertahan harus diselidiki dalam studi klinis.
Hal itu karena tidak seperti vaksinasi aktif, Pruss menyebut, vaksinasi pasif melibatkan pemberian antibodi siap pakai, yang terdegradasi setelah beberapa waktu. Secara umum, para peneliti mengatakan bahwa perlindungan yang diberikan oleh vaksinasi pasif kurang persisten (berkesinambungan) dibandingkan dengan yang diberikan oleh vaksinasi aktif.
Namun, efek dari vaksinasi pasif hampir seketika, sedangkan dengan vaksinasi aktif itu harus dibangun terlebih dahulu. Karena itu, akan lebih baik jika kedua opsi tersedia, sehingga tanggapan yang fleksibel dapat dibuat tergantung pada situasinya.