REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah dan DPR RI menyepakati adanya skema Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) dalam pembayaran pesangon di RUU Cipta Kerja. Dalam rapat daftar inventarisasi masalah (DIM) yang digelar pada Ahad (29/7), JKP ini harus menjadi tanggung jawab pemerintah.
Rapat yang dipimpin oleh Ketua Badan Legislasi DPR RI Supratman Andi Agtas itu menyepakati, JKP menjadi beban tangungan pemerintah. Adapun iuran kepesertaannya juga ditanggung pemerintah.
"Skemanya ditanggung pemerintah, mau APBN mau apa, ditanggung pemerintah," kata Supratman dalam rapat, sebagaimana dikutip Republika.co.id dalam akun resmi YouTube DPR RI pada Senin (28/9).
Pemerintah mengklaim, JKP itu sebagai bentuk komitmen pemerintah menjamin hak hidup buruh yang terkena PHK. Hak hidup yang diberikan pemerintah dalam berbagai bentuk antara lain seperti transfer dana kas atau dana tunai perbulan sampai pekerja PHK memperoleh pekerjaan.
Namun, Staf Ahli Bidang Regulasi, Penegakan Hukum, dan Ketahanan Kemenko Perekonomian Elen Setiadi menyatakan rincian soal skema ini perlu diatur lebih lanjut. "Hitungan waktu berapa lama pemerintah harus menanggung pekerja PHK dalam skema asuransi ini? Kami tentu harus diskusikan lebih lanjut," kata Elen.
Hal itu menurut Elen, harus didiskusikan mengingat ada konsekuensi bahwa skema JKP akan menyerap Anggaran Penerimaan Belanja Negara (APBN) yang cukup besar.
Pembayaran JKP sendiri merupakan bagian dari pesangon yang akan dibayarkan. Jumlah besaran pesangon di RUU Ciptaker sama dengan UU Existing, yakni UU Nomor 13 tahun 2003 sebanyak 32 kali gaji.
Namun, yang membedakannya adalah soal siapa yang memberikan pesangon itu. Saat melakukan pemutusan hak kerja (PHK), pemberi kerja wajib membayar pesangon sebesar 23 kali gaji. Sedangkan pemerintah membayar 9 kali gaji melalui skema Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).
Sejauh ini, Klaster ketenagakerjaan dalam RUU Cipta Kerja dinyatakan tuntas dibahas dan disepakati oleh pihak DPR RI dan Pemerintah. Adapun yang disepakati di antaranya soal sanksi akan kembali menggunakan pengaturan di UU eksisting (UU nomor 13 tahun 2003), pencabutan upah minimum padat karya dari RUU Cipta Kerja, upah minimum kabupaten/kota tidak, serta pengaturan kluster ketenagakerjaan wajib mematuhi putusan mahkamah konstitusi (MK).