REPUBLIKA.CO.ID, MEXICO CITY -- Tepat 500 tahun silam, Mexico City pernah mengalami periode kelam. Wabah cacar yang melanda kota membuat banyak keluarga tak selamat. Korban yang meninggal dunia berakhir dengan kremasi massal atau dibiarkan tertimbun reruntuhan rumah.
Menurut sejarah, cacar yang mewabah pada September 1520 itu bersumber dari penjajah Spanyol dan para pelayan mereka. Kala itu, tentu lokasi yang dimaksud belum bernama Mexico City, melainkan Tenochtitlan, Ibu Kota Aztec. Bisa jadi, ingatan tentang hal ini sudah mulai dilupakan.
Warga Tenochtitlan mengusir penakluk Spanyol Hernán Cortés dan ratusan anggota kelompoknya pada 30 Juni 1520, setelah Cortés menculik dan membuat Kaisar Moctezuma meninggal dunia. Kelompok itu pergi, tapi meninggalkan sejumlah budak yang mereka bawa dari Kuba.
Beberapa budak itu sudah terinfeksi cacar, yang segera menular, ditambah Cortés dan sekutunya memblokade kota setelah kekalahan pada Juni. Kisah tersebut tertuang dalam buku The Vision of the Conquered yang ditulis oleh sejarawan Miguel León Portilla.
Dalam buku, wabah digambarkan sangat hebat dan menghancurkan, bahkan menyebabkan Cuitláhuac, penerus Moctezuma, turut tewas. Cacar dan penyakit baru lainnya terus membunuh puluhan juta penduduk asli Amerika yang tidak memiliki daya tahan terhadap penyakit Eropa.
Virus tersebut kemudian menyebar ke Amerika Selatan, berkontribusi pada kejatuhan dan penggulingan kerajaan Aztec dan Inca. Suku Aztec atau Mexica (penduduk asli Lembah Meksiko) mencoba pengobatan yang telah lama dipercaya untuk memerangi penyakit asing itu.
Sama seperti upaya kita di tengah pandemi virus corona saat ini, berbagai upaya tersebut tidak selalu berhasil. Pertama, mereka mencoba pengobatan mandi uap temezcales. Penularan malah semakin parah orang-orang berdesakan begitu rapat di bilik batu dan lumpur yang tertutup.
Begitu kota dilanda penyakit, Cortés dan anak buahnya masuk kembali dan melakukan penaklukan pada Agustus 1521. Akibat wabah cacar, pertempuran, dan kekurangan makanan yang disebabkan oleh blokade penakluk, ada begitu banyak jenazah membusuk di jalan.
Saking kacaunya, Cortés memutuskan untuk memindahkan ibu kota baru Spanyol ke kota lebih jauh ke selatan untuk menghindari bau yang menyengat. Sementara di luar tempat yang ditaklukkan tersebut, penduduk asli tetap menghadapi epidemi cacar pertama.
Wabah akhirnya membunuh sebagian besar penduduk pra-Hispanik. Terlepas dari pengobatan abad pertengahan yang gagal, para pakar menyoroti bahwa umat manusia semestinya belajar dari epidemi yang mengakibatkan salah satu kematian massal terbesar itu.
Selama ini, umat manusia telah banyak belajar dari wabah. Kolera mengajarkan pentingnya menjaga kebersihan air dan sanitasi, sementara AIDS mengubah perilaku seksual. Dalam kasus cacar, umat manusia bisa dibilang telah memenangkan pertempuran.
Vaksin pertama untuk pengobatan cacar berhasil ditemukan pada 1796. Organisasi Kesehatan Dunia pun menyatakan penyakit tersebut sudah diberantas pada 1980. Akan tetapi, kemenangan demikian rentan menimbulkan kesombongan.
"Dalam 50 tahun terakhir, keangkuhan muncul di komunitas medis, mengira telah mengendalikan semua penyakit menular," kata profesor kedokteran di Institut Virologi Manusia Universitas Maryland, José Esparza.
Pandemi Covid-19 kini memberikan kejutan besar yang menjadi pukulan keras bagi semua pihak. Sejarawan medis Sandra Guevara berpendapat, hari ini umat manusia menjalani lagi apa yang dulu dialami dan dirasakan nenek moyang.
"Yang penting adalah bagaimana kita menghadapinya. Kita harus belajar bahwa umat manusia tidak dapat mengendalikan segalanya," kata Guevara, dikutip dari laman AP.