REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Ipin Sugiyarto
Ramai diperbincangkan mengenai potensi tsunami 20 meter di Laut Jawa belakangan ini. Secara histori negara kita masuk dalam lingkaran cincin api "Ring of Fire". Khususnya di Laut Jawa yang bergaris merah adalah bagian subduksi di mana pertemuan dua lempeng besar yang saling bertumbukan. Kedua lempeng itu saling berbenturan satu dengan lainnya. Beberapa fakta sejarah mencatat terjadi gempa besar dalam kurun waktu periode 50 tahun-nan.
Megatrush 9.1 SR bisa saja berpeluang terjadi, akan tetapi perlu dicatat adalah jika pada daerah zona merah subduksi mampu melepaskan energinya secara bertahap maka megatrush tidak akan terjadi. Diibaratkan suatu kekuatan besar apabila dikeluarkan sedikit demi sedikit maka akan semakin menurun intensitasnya dan hilang. Akan tetapi jika energi besar tersebut tidak tersalurkan secara bertahap maka peluang besar terjadi megatrush itu mungkin dan hal ini perlu diwaspadai.
Jadi, potensi tsunami setinggi 20 meter, bisa saja terjadi atau mungkin saja tidak terjadi semua kembali pada proses alam. Perjalanan panjang penelitian di bidang tsunami sudah bertahun-tahun dijalankan. Para peneliti banyak menemukan kasus-kasus yang berbeda pada setiap lokasi demografis. Paling utama dalam menanggapi polemik tersebut adalah jangan panik. Kita tidak sendiri. Ada banyak orang terlibat dalam penelitian besar ini.
Yang perlu dibangun pada masyarakat adalah bagaimana sikap tanggap terhadap bencana, baik itu saat terjadi maupun setelahnya. Kesadaran akan edukasi dalam hal tanggap bencana sangatlah penting ditanamkan pada tiap generasi. Bukan seberapa besar potensi bencananya tapi seberapa besar kita tanggap dan peduli pada bencana yang akan terjadi. Perlu kita sadari bersama isu ini bukanlah sekedar isapan jempol. Melihat kondisi wilayah Indonesia yang rawan gempa dan tsunami, megatrush bisa saja terjadi.
Belajar dari tsunami yang sering terjadi di negara Jepang, kenapa di sana sering terjadi tsunami akan tetapi korbannya sangatlah sedikit dibandingkan dengan negara lain. Karena mereka menyadarkan masyarakatnya agar tanggap terhadap bencana. Pentingnya edukasi tanggap bencana alam khususnya tsunami, mereka bisa meminimalisir korban dengan potensi yang ada dalam dirinya.
Jadi penting sekali edukasi tanggap bencana. Hal ini yang perlu ditanamkan pada masyarakat agar budaya disiplin dan patuh terhadap suatu hal bisa tercapai tanpa adanya paksaan tapi semua karena kesadaran.
Dunia pendidikan dan pemanfaatan Teknologi Informasi (TI) tentunya juga sangat berperan dalam membantu meminimalisir korban jiwa dari suatu bencana yang terjadi.
Perlu adanya upaya serius kita semua dari dunia pendidikan dan teknologi untuk mendukung dan memperkuat penerapan building code dalam membangun infrastruktur. Para peneliti dan ahli tentunya akan senantiasa berusaha menemukan dan memaksimalkan hasil dari kajiannya untuk keselamatan bersama.
Dunia pendidikan juga mampu berperan menyosialisasikan dan memberikan penyuluhan terhadap masyarakat tentang tanggap bencana agar masyarakat memahami cara menyelamatkan diri dan juga mampu bersikap tanggap terhadap bencana alam yang akan terjadi.
Saat ini masih terus dikembangkan teknologi yang mampu memprediksi dengan tepat dan akurat kapan dan dimana gempa tsunami akan terjadi, akan tetapi penelitian ini bukan untuk membuat keresahan pada masyarakat. Justru sebaliknya masyarakat perlu tahu keadaan sesungguhnya dan penting adanya pembekalan tanggap bencana agar resiko kerugian dari bencana dapat diminimalisir.
Isu megatrusth dan potensi tsunami 20 meter, bisa saja terjadi namun bisa saja tidak terjadi, semua kembali lagi pada proses alam dan kehendak Sang Pencipta. Manusia hanya memiliki dua hal yakni "menerima dengan apa adanya" atau "menerima dengan ilmu". Keduanya akan menghasilkan output yang berbeda ketika bencana itu terjadi.
"Jalani hidup dengan ilmu itu lebih baik ketimbang hanya menerima apa adanya".
*) Penulis adalah Dosen STMIK Nusa Mandiri, Prodi Sistem Informasi dan Staf Read Down Station Tsunami BPPT.