REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tim Hukum Bareskrim Mabes Polri membantah dalil permohonan praperadilan tersangka Irjen Napoleon Bonaparte terkait kasus red notice. Tim hukum Polri mengatakan, permintaan uang tersebut disampaikan Napoleon kepada orang suruhan Djoko Tjandra, yakni Tommi Sumardi.
"Bahwa untuk (tersangka) Irjen NP tidak mau menerima uang yang disediakan, dan meminta sebesar Rp 7 miliar," ujar salah satu anggota tim hukum Bareskrim Polri, saat lanjutan sidang praperadilan ajuan tersangka Napoleon di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), Selasa (29/9).
Lanjutan praperadilan, merupakan sidang yang ketiga. Agendanya, pembacaan jawaban termohon, yakni Bareskrim Polri atas dalil permohonan Napoleon yang meminta hakim memerintahkan Polri menghentikan penyidikan perkaranya, dan mencabut penetapan status tersangka. Dalil pemohonan Napoleon, sudah dibacakan saat sidang, Senin (28/9). Pada sidang kali ini, Napoleon kembali hadir bersama tiga orang kuasa hukumnya.
Salah satu dalil permohonan yang disampaikan kuasa hukumnya, saat sidang (28/9), yakni terkait penolakan tuduhan adanya penerimaan uang 20 ribu dolar AS (Rp 296 juta) dari Djoko Tjandra lewat Tommi Sumardi. Napoleon menyatakan, Polri tak punya bukti penerimaan tersebut.
Napoleon juga membantah uang tersebut diterima dari Djoko Tjandra lewat Tommi Sumardi. Napoleon menyebut penyidik menyita uang tersebut dari tersangka lainnya, yakni Brigjen Prasetijo Utomo, tetapi membebankan pidana terhadapnya.
Akan tetapi, dalil Napoleon tersebut dibantah oleh Bareskrim Polri. Tim Hukum Polri menyampaikan pembelaan terkait akurasi pembuktian saat penyelidikan, pun penyidikan skandal red notice Djoko Tjandra.
Dikatakan tim hukum, hasil penyidikan menyebutkan rencana penghapusan status buronan terhadap Djoko Tjandra sudah dibicarakan sejak Maret 2020. Yaitu, ketika Djoko Tjandra menghubungi Tommi Sumardi menyampaikan permintaan bantuan pencabutan red notice. "Dari pembicaraan itu, disebutkan biaya sebesar Rp 15 miliar," kata tim hukum Polri.
Akan tetapi, dari pembicaraan tersebut, dikatakan, Djoko Tjandra setuju di harga Rp 10 miliar. Rencana tersebut, dikatakan tim hukum penyidikan, berlanjut pada April. Dikatakan Tommi Sumardi mendatangi rumah tersangka Brigjen Prasetijo. Dalam kunjungan tersebut, Tommi Sumardi meminta Prasetijo mengenalkannya dengan Napoleon selaku Kadiv Hubinter Mabes Polri.
"PU (Prasetijo) bersama TM (Tommi Sumardi) menghadap NB di Gedung TMCC lantai 11 (Mabes Polri)," jelas tim hukum.
Dari perjumpaan tersebut, Tommi Sumardi meminta untuk pengecekan status buronan Djoko Tjandra. Sehari setelah itu, dikatakan sekitar pukul 11.00 WIB, Tommi Sumardi kembali bertemu dengan Prasetijo, untuk mendatangi Napoleon di ruang kerja. Saat pertemuan tersebut, Tommi Sumardi menyampaikan rencana penghapusan red notice tersebut.
"(Tersangka) TS bersama PU mendatangi ruangan Irjen NB selaku Kadiv Hubinter Polri. Dan NB menyampaikan bahwa red notice atas nama DT (Djoko Tjandra) bisa dibuka asal ada uang sebesar Rp 3 miliar," sambung tim hukum Polri.
Pada hari itu juga, dikatakan tim hukum, Tommi Sumardi memberikan uang kontan 100 ribu dolar AS (Rp 1,4 miliar). Uang tersebut dibagi menjadi tiga bagian, senilai 20 ribu kepada Prasetijo, dan 30 ribu untuk Tommi Sumardi sendiri, dan 50 ribu untuk Napoleon. "Akan tetapi (tersangka Irjen NP (Napoleon), tidak menerima uang dengan jumlah tersebut, dan meminta sebesar Rp 7 miliar," ujar tim hukum Polri.
Selanjutnya dikatakan, medio April-Mei 2020, sebagai realisasi rencana penghapusan rednotice tersebut, Napoleon memerintahkan Kombes Tommy Arya untuk membuat surat. Yaitu, produk hukum yang berkaitan dengan red notice. Surat tersebut ditandatangani oleh Brigjen Nugroho Slamet Wibowo selaku Sekretaris Interpol Polri untuk penghapusan nama buronan dalam daftar pencarian orang (DPO) Djoko Tjandra, di sistem imigrasi.
Sebagai imbalan dari penerbitan surat tersebut, dikatakan Djoko Tjandra harus menebus senilai Rp 7 miliar yang dibagi dalam bentuk dolar AS dan Singapura. Penyidik, dikatakan tim hukum, mempunyai bukti-bukti terkait pencairan uang tersebut yang dilakukan bertahap.
"Meskipun pemohon tersangka Irjen NB (Napoleon) menyangkal menerima uang tersebut, tetapi sudah patut dipertanyakan atas penerbitan surat-surat yang menguntungkan pihak pemberi suap," begitu pembelaan tim hukum Bareskrim Polri.