REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Beggy Rizkiansyah, Penulis sejarah dan Aktivis Jejak Islam untu Bangsa.
Di tengah keriuhan isu pilkada, pandemi dan penusukan ulama, ada satu hal yang luput dari perhatian umat Islam saat ini, yaitu isu penghapusan mata pelajaran sejarah sebagai mata pelajaran wajib dan pernyataan mantan panglima TNI, Gatot Nurmantyo bahwa dirinya digeser setelah mengadakan pemutaran film G-30 S/PKI secara serentak selama akhir masa jabatannya.
Pelajaran sejarah, menurut keterangan dari Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (AGSI) akan dijadikan pelajaran tidak wajib. Tentu hal ini mengejutkan. Sejarawan Peter Carey, misalnya, sudah menulis betapa meruginya sebuah bangsa yang abai akan sejarahnya.
Kita tentu memahami bahwa pelajaran sejarah di sekolah-sekolah tak luput dari kritik, baik penyampaiannya maupun isi dari pelajaran tersebut. Termasuk paradigma penulisan sejarah yang masih jauh dari paradigma yang islami. Namun, menyingkirkan mata pelajaran tersebut dari kewajiban dan mereduksinya adalah langkah yang buruk mengatasi persoalan tersebut.
Hal itu hanya akan membuat kita membunuh kesadaran sejarah kita secara perlahan. Sebab, sudah kita pahami betul, orientasi pendidikan saat ini tak lain diarahkan sekadar memenuhi kebutuhan industri yang kapitalistik, bukan membangun jati diri sebuah bangsa.
Kesadaran penulisan sejarah memang mengalami stagnasi kalau tidak mau dibilang degradasi dalam tubuh umat Islam di Indonesia. Hal ini terutama jika kita melongok kembali pernyataan mantan Panglima TNI AD, Gatot Nurmantyo yang menyebutkan bahwa dirinya digeser dari jabatan (beberapa bulan lebih cepat dari masa persiapan pensiun jabatannya) karena memutar film Pengkhianatan G 30 S/PKI.
Belajar Sejarah dari Film?
Kita tentu bukan hendak menilai benar tidaknya pernyataan mantan panglima TNI tersebut, tetapi pernyataan dia membuat kita patut merenungi satu hal: pendidikan sejarah masyarakat mengenai peristiwa September 1965 masih berkutat mengandalkan film yang dibuat pada tahun 1984 ini.
Harus diakui film besutan sutradara Arifin C. Noer ini memang tak luput dari kritik. Bagaimanapun, generasi yang besar di masa orde baru tak mungkin melupakan adegan penyiksaan oleh PKI terhadap terhadap para jenderal Angkatan Darat. Adegan sadistis mencongkel mata, menyayat-nyayat dan sebagainya begitu lekat dalam ingatan kita mengenai film tersebut.
Padahal, di situlah salah satu titik kritik terbesar film tersebut. Adegan penyiksaan yang intens tersebut sesungguhnya tidak seperti yang digambarkan pada film. Jika kita melihat laporan visum et repertum para korban sesungguhnya tidak ada perilaku pencongkelan mata atau sayat menyayat tersebut. (Ben Anderson: 1984) Bahkan kesaksian para anggota KKO Angkatan Laut (mariner) yang kemudian mengevakuasi jenazah para korban juga menegaskan penyangkalan terhadap kondisi jenazah semacam itu.
Penyajian yang intens akan penyiksaan tersebut akhirnya membuat kebenaran historis film G 30 S/PKI seakan runtuh. Padahal tentu saja, tidak semua peristiwa yang digambarkan film tersebut adalah kebohongan. Bahkan mungkin mayoritas peristiwa yang ada dalam film tersebut benar adanya. Namun, kita tidak dapat memungkiri generasi muda saat ini juga tidak lagi menerima begitu saja narasi sejarah yang coba disajikan film G30 S/PKI.
Film-film dengan narasi tandingan seperti Jagal sudah menempatkan PKI justru sebagai korban dan rezim orde baru sebagai pelaku. Kita umat islam tentu saja tidak perlu terjebak dalam pusaran narasi seperti ini. Umat Islam seharusnya malah memiliki narasi tersendiri di antara dua narasi penulisan sejarah 1965.
Sayangnya, di sinilah titik persoalannya. Umat Islam saat ini tidak memiliki referensi yang melimpah mengenai literatur sejarah konflik. Sepanjang pengetahuan penulis, tidak banyak buku yang ditulis mengenai sejarah 1965 dari perspektif atau katakanlah dari suara umat Islam di Indonesia. Buku Dari Kata Menjadi Senjata: Konfrontasi Umat Islam dengan Partai Komunis Indonesia (2017) mungkin salah satu buku yang ditulis dengan ikhtiar menyajikan penulisan sejarah terkait Partai Komunis Indonesia dari perspektif umat Islam.
Buku Ayat-ayat yang Disembelih (2015) – sekarang terbit kembali dengan judul Banjir Darah– dan PKI Dalang dan Pelaku Kudeta G-30S/1965 adalah dua buku lain yang mencoba menandingi narasi yang begitu mendominasi tentang 1965 saat ini, yaitu peristiwa 1965 dengan kelompok kiri sebagai korban.
Buku Ayat-ayat yang Disembelih, misalnya, meski merangkum kesaksian para korban kekejaman PKI, sayangnya tidak memberikan konteks dari setiap peristiwa. Sehingga buku tersebut hanya menjadi semacam rangkuman dari kekejaman. Melepaskan peristiwa dari konteks dan rangkaiannya tentu sulit untuk memberikan pemahaman sejarah yang baik. Padahal penulisan yang komprehensif amat diperlukan bagi generasi muda, khususnya menjawab berbagai pernyataan yang muncul sebagai kritik dari rangkaian sejarah 1965.
Begitu pula buku PKI Dalang dan Pelaku Kudeta G-30S/1965 yang diterbitkan pada tahun 2019. Buku yang ditulis sejarawan senior Aminuddin Kasdi ini, sayangnya selain masih mengangkat kisah soal penyiksaan para perwira seperti di film G 30 S/PKI, juga tidak membahas isu yang cukup sensitif bagi generasi saat ini, yaitu bagaimana dengan pembunuhan orang-orang (yang diduga) kiri pada saat itu?
Padahal, kenyataan ini tentu saja ‘menghantui’ generasi saat ini. Memberikan penjelasan dan perspektif yang memadai tentu dibutuhkan bagi generasi muda saat ini yang begitu masif membaca narasi soal pembunuhan pasca-September 1965. Bagaimana mereka harus menyikapinya.
Kita tentu masih mengingat belum lama ini terjadi keriuhan akibat artikel yang diunggah di Wikipedia mengenai peristiwa 1965. Protes terjadi ketika artikel tersebut menyebut ormas Islam sebagai pihak yang terlibat dalam pembunuhan dalam konflik pasca-September 1965.
Narasi dari pihak yang mempersoalkan pembunuhan pasca-September 1965 memang begitu masif dan sangat menyoroti persoalan hak asasi manusia, menuding rezim Suharto sebagai pelaku utamanya dan menuntut persoalan ini diselesaikan. Di lain sisi, persoalannya, sedikit yang mau melihat persoalan ini secara menyeluruh.
Penulisan Sejarah Berkacamata Kuda
Peristiwa 1965 dianggap berdiri sendiri dan terlepas dari rangkaian peristiwa-peristiwa sebelumnya, baik Pemberontakan Madiun 1948 maupun terror yang dialami kelompok antikomunis, khususnya umat Islam sebelum tahun 1965.
Pengungkapan kondisi sebelum 1965 sangatlah penting untuk melihat sebab-akibat dan dampak politik polarisasi yang dimainkan elite di masa orde lama. Bahkan bayangan tentang kekejaman dari Pemberontakan Madiun 1948 masih menghantui kelompok anti-komunis pada saat itu.
Menulis peristiwa pasca-September 1965 tanpa mengangkat masa-masa teror sebelumnya akhirnya juga turut menghilangkan suara para korban sebelum tahun 1965. Baik itu di kalangan elite politik maupun di akar rumput. Kita, tentu saja tidak akan menemukan suara-suara umat Islam yang terteror di karya yang mempersoalkan peristiwa pasca-1965, seperti Geoffrey Robinson atau Jess Melvin. Dua penulis asing yang mempersoalkan persitiwa pembunuhan pasca September 1965.
Geoffrey Robinson, misalnya, dalam karyanya The Killing Season: A History of the Indonesian Massacres, 1965-1966 (diterjemahkan menjadi Musim Menjagal: Sejarah Pembunuhan Massal Di Indonesia 1965-1966; 2018) dalam bab Pra-kondisi tidak menulis sebarispun tentang para koban pembantaian oleh PKI dalam pemberontakan Madiun 1948.
Alih-alih, Robinson mempersoalkan eksekusi para anggota PKI yang terlibat dalam pemberontakan dan menggugatnya dalam kalimat;
“Selama pelaksanaan operasi ini, mereka menangkap sekitar tiga puluh lima ribu anggota PKI dan membunuh banyak orang. Terkadang para korbannya dibunuh melalui eksekusi massal yang mengerikan,” tulis Robinson (Geoffrey Robinson: 2018)
Robinson dan banyak penulis serupa lainnya tentu tak mau repot-repot memikirkan penyebab terjadinya pembunuhan yang dia sebut mengerikan kepada anggota PKI yang terlibat pemberontakan. Dia tidak (merasa) perlu menuliskan bahwa banyak dari kaum santri dan kiyai yang dieksekusi tak kalah mengerikannya.
Ketimpangan lain dalam mengupas peristiwa pasca 1965 adalah kerap dikaburkannya arsitek di balik pembunuhan para perwira Angkatan Darat di malam kelam 30 September 1965. Jess Melvin misalnya dalam artikelnya yang mengupas keterlibatan AS dalam mendorong pembunuhan pasca 1965, menyebut peristiwa malam 30 September sebagai aksi internal militer yang gagal (a failed internal-military action).
Teori yang menunjuk malam 30 September 1965 sebagai konflik internal militer (Angkatan Darat) tentu saja teori kadaluwarsa yang kerap didaur ulang. Teori persoalan internal Angkatan Darat ini pertama kali dicetuskan oleh Ben Anderson dan Ruth McVey yang menerbitkan kumpulan makalah mereka, setahun setelah peristiwa 30 September. (Hanibal WIjayanta: 2017)
Makalah yang kemudian dikenal Cornell Paper ini pada masa itu tentu saja menimbulkan pro dan kontra. Pada masa itu dengan segala keterbatasan sumber, tampak wajar jika kedua peneliti dari Universitas Cornell, AS itu menyimpulkan demikian. Tetapi seiring berjalannya waktu, kesimpulan tersebut tampak lemah.
Teori persoalan internal Angkatan Darat sebenarnya sejalan dengan isi editorial dari surat kabar PKI, Harian Rakjat pada edisi 2 Oktober 1965. Dalam editorial yang mendukung gerakan malam 30 September 1965 itu, redaksi Harian Rakjat menulis,
“Kita Rakjat memahami betul apa jang dikemukakan oleh Letkol Untung dalam melakukan gerakan jang patriotik itu. Tetapi bagaimanapun djuga persoalan tsb. Adalah persoalan intern AD.” (John Roosa: 2008)
Tak pelak, editorial itu sesunguhnya mencoba mendukung gerakan Untung Cs, tanpa mau melibatkan PKI di dalamnya. Teori persoalan internal AD ini kemudian seringkali didengungkan meski sudah kehilangan daya argumennya. Kenyataannya, apa yang terjadi sesungguhnya (setidaknya sebagian besarnya) sudah terang benderang.
Di balik peristiwa 30 September 1965 berdiri Biro Chusus, sebuah badan rahasia dalam PKI yang bertugas membina para perwira militer yang bersimpati pada partai. Badan ini dipimpin oleh Sjam Kamaruzzaman. Hanya segelintir elite partai yang mengetahui tindak tanduk Biro Chusus ini. Sjam melapor langsung kepada ketua partai, D.N. Aidit. (John Roosa: 2008)
Biro Chusus memang sebuah badan klandestin dalam partai yang beroperasi sejak awal 1950-an. John Roosa sendiri dalam Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto (2008) menunjukkan eksistensi dan peran badan ini dalam malam 30 September 1965. Sehingga peran badan ini sendiri, termasuk keterlibatan Biro Chusus dalam malam 30 September 1965, tidak diketahui seluruh anggota atau bahkan elit partai.
Itu sebabnya teori persoalan internal Angkatan Darat bukan saja lemah tetapi berfungsi membebaskan PKI dari peristiwa 30 September 1965. Dan memang persis hal ini yang diinginkan oleh Aidit. Perwira Angkatan Darat yang anti-komunis tersingkir tetapi dalang di balik gerakan biadab tersebut tidak diketahui. Sesungguhnya hal ini pula yang diucapkan Aidit kepada Mao Tse Tung, pemimpin Partai Komunis Cina, ketika mereka bertemu pada 5 Agustus 1965.
Dalam percakapan mengenai kemungkinan perebutan kekuasaan setelah Sukarno meninggal, Aidit membeberkan rencananya kepada Mao:
“Menurut skenario pertama, kita merencanakan untuk membentuk sebuah komite militer. Sebagian besar anggota komite akan terdiri dari orang-orang sayap kiri, namun juga akan memasukkan beberapa elemen tengah. Dengan cara ini, kita akan membuat musuh kita kebingungan. Musuh-musuh kita akan tidak merasa yakin tentang apa hakikat dari komite ini, dank arena itu para komandan militer yang bersimpati kepada sayap kanan akan tidak menentang kita dengan segera. Kalau kita langsung mengibarkan bendera merah kita, mereka akan segera menentang kita. Kepala komite militer ini haruslah anggota rahasia partai kita, namun dia akan mengidentifikasi diri sebagai orang yang netral. Komite militer ini tidak boleh berkuasa terlalu lama. Sebab kalau tidak, orang baik akan berubah menjadi orang jahat. Setelah komite ini terbentuk, kita perlu mempersenjatai kaum buruh dan tani, dalam waktu yang tepat. “ (Taomo Zhou : 2014)
Tentu tak perlu sulit memaknai bahwa yang dimaksud Aidit “Komite Militer” adalah Dewan Revolusi yang dipimpin oleh Untung. Meski mayoritas komite tersebut bersimpati pada sayap kiri , tetapi sebagaimana dibeberkan Aidit, akan dimasukkan juga orang-orang yang netral agar menghindari kecurigaan kelompok militer anti-komunis. Dan memang inilah yang terjadi di 1 Oktober 1965.
Percakapan ini Aidit dan Mao ini diolah oleh Taomo Zhou dari arsip Partai Komunis Cina yang sudah dibuka untuk publik (tetapi kemudian ditutup kembali). Artikel Zhou bukan barang baru. Diterbitkan jurnal Indonesia, Universitas Cornell, AS pada tahun 2014. Namun tampaknya tidak mempengaruhi kesimpulan Melvin atau Geoffrey Robinson.
Robinson meski menyebut temuan Zhou, namun tidak banyak mengelaborasinya. Robinson malah mempersoalkan “biro chusus” dan mempertanyakan mengapa PKI berniat merebut kekuasaan dengan mempertaruhkan semua pencapaian yang telah mereka miliki. (Robinson: 2018)
Padahal jawaban tersebut dapat dirujuk kembali pada percakapan Aidit dengan Mao yang dikutip dalam artikel Zhou di atas. Aidit dan Mao khawatir dengan kesehatan Sukarno yang memburuk.
Mao: “Menurut saya, golongan sayap kanan berencana untuk merebut kekuasaan. Apakah kalian juga punya rencana itu juga?
Aidit: [Sambil menganggukkan kepala] “Kalau Soekarno meninggal, itu adalah masalah siapa yang berada di atas angin.” (Taomo Zhou: 2014)
Saat itu adalah masa untuk saling mendahului antara dua kekuasaan di bawah Sukarno, jika Sukarno tak (mampu) lagi memimpin. Entah PKI dahulu yang menghabisi para elit militer anti-komunis atau sebaliknya. Rencana yang dibeberkan Aidit kepada Mao akhirnya memang dilaksanakan pada malam 30 September 1965, meski akhirnya tidak sesuai harapan, karena Sukarno kemudian berbalik badan.
Sedemikian terang benderang pun nyatanya tidak mampu menggoyahkan argumen penulis seperti Robinson. Alih-alih ia mengajukan pertanyaan seperti, mengapa militer membiarkan Harian Rakjat terbit pada 2 Oktober dan mengapa militer tidak mendatangi kantor surat kabar PKI tersebut. (Geoffrey Robinson: 2018)
Lebih lanjut, Ia malah kemudian terjerembab dalam teori konspirasi miliknya: Editorial Harian Rakjat dibuat oleh seseorang yang hendak membuktikan kesalahan PKI. Padahal pertanyaan dan dugaan semacam ini sudah dijawab oleh John Roosa. Editorial sudah dibuat sebelum militer melarang dan kenyataannya kantor Harian Rakjat didatangi oleh pihak militer. Editorial pun dibuat oleh orang yang jelas terkait dengan partai. (John Roosa: 2008)
Sulit bagi kita untuk menerima argumen-argumen seperti Robinson di atas. Akhirnya memang seringkali penulisan sejarah peristiwa pasca September 1965 ditulis dengan mengabaikan kondisi pra-65 dan menutup mata dari keterlibatan partai dari peristiwa malam 30 September 1965.
Dari contoh seperti ini akhirnya memang amat diperlukan bagi umat Islam untuk menulis sendiri peristiwa 1965 dari segala aspeknya, termasuk pembahasan mengenai peristiwa pasca 1965 yang sering digugat. Sayangnya kita masih sedikit menemukan literatur seperti ini. Umat Islam masih terlalu nyaman bersandar pada narasi versi orde baru dan seperti tertidur dalam buaian film G-30 S/PKI.
Hal ini tentu berbahaya bagi generasi masa mendatang. Mereka tidak lagi mempercayai narasi versi Orde Baru yang banyak tambal sulamnya (jika tidak mau disebut propaganda), tetapi juga tidak menemukan referensi yang memadai dari kalangan umat Islam sendiri. Sehingga perlahan-lahan situasi mungkin akan berubah. Kecuali memang umat perlahan sadar, terbangun dari buaian film G-30S/PKI dan mau menuliskan kembali soal peristiwa 1965 secara serius.