REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejarawan Betawi Ridwan Saidi, mengaku ada banyak pihak yang memprotes pembuatan sejarah G30S PKI hanya dari satu sisi saja. Menurut dia, sedikitnya referensi mengenai kejadian itu, dikarenakan sedikit yang mau membuat sudut pandang baru.
"Mereka kan kaga bikin, cuman ngoceh aja. Bilang bosen, padahal ga pernah jelasin soal PKI," kata Babe sapaan akrabnya kepada Republika, Rabu (30/9).
Dia mengaku, pada zaman pemerintahan Soeharto, pandangan memang dari satu sisi. Karena, nyatanya tidak ada penjelasan atau catatan sejarah dari sudut pandang lain juga.
Dia tak menampik, memang ada kekhawatiran saat itu. Namun, di masa kini, hal itu tidak menjadi alasan untuk memprotes keadaan sejarah yang tercatat sejak dahulu.
"Kalau mau sudut pandang lain ya buat aja, jangan ngaco aja," sindirnya.
Babe menyebut, sejak dahulu film yang menceritakan G30S PKI juga tidak hanya satu. Ada banyak. Bahkan, diantaranya dibuat oleh sineas dan dokumenter asing.
Beberapa garapan asing di antaranya adalah dokumenter The Year of Living Dangerously yang tayang perdana 1982 silam.
Selain itu ada juga film Shadow Play yang menceritakan sudut pandang korban pembantaian. Film garapan Chris Hilton yang melibatkan aktor Hollywood Linda Hunt dan Pramoedya Ananta Toer itu, juga menjadi referensi dokumenter yang berisi wawancara dengan saksi sejarah dan yang terlibat langsung.
Di Indonesia sendiri, menurut Babe memang sudah ada banyak film yang bermunculan dari sudut pandang lain, seperti Senyap, The Act of Killing dan lainnya. Film itu, meski berbentuk gambaran, juga merupakan karya yang bagus dan menceritakan sejarah yang ada.
Babe mengaku, tak menonton atau membaca semua literatur mengenai peristiwa G30S/PKI. Namun demikian, bukti sejarah yang ada harus disikapi oleh pemuda masa kini dengan arif.
"Dari film-film itu bisa juga untuk pendidikan. Dan dari situ, kita harus tetap memperingati bahaya komunis. Itu saja. Kita harus waspada terus," ungkap dia.