REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jaksa Pinangki Sirna Malasari mengaku mendapatkan sejumlah harta benda dari mantan suaminya, yang juga bekas pejabat di Kejaksaan Agung Almarhum Djoko Budiharjo. Pengacara Pinangki, Jefri Moses mengatakan mantan suami sudah menyiapkan banyak tabungan untuk Pinangki.
"Saat almarhum (Djoko Budiharjo) berprofesi advokat inilah terdakwa mengetahui almarhum suami menyimpan uang dalam bentuk Banknotes mata uang asing, yang menurut almarhum adalah untuk kelangsungan hidup istrinya," kata pengacara Pinangki, Jefri, saat membacakan nota keberatan (eksepsi) di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu (30/9).
Pinangki yang juga hadir dalam persidangan memilih untuk tidak membacakan nota keberatan secara pribadi. Pinangki yang kali ini mengenakan gamis biru telur asin lengkap dengan jilbab warna senada itu hanya duduk mendengarkan nota keberatan yang dibacakan penasihat hukumnya.
Dalam dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) disebutkan Pinangki melakukan pencucian uang yang berasal dari penerimaan suap sebesar 444.900 dolar atau sekitar Rp 6.219.380.900 sebagai uang pemberian Joko Tjandra untuk pengurusan fatwa ke MA. Uang itu disamarkan untuk membeli mobil BMW X5, sewa apartemen, membayar dokter kecantikan di Amerika Serikat, membayar dokter home care, membayar tagihan kartu kredit serta sewa 2 apartemen mewah di Jakarta.
"Karena almarhum (Djoko Budiharjo) menyadari tidak akan bisa mendampingi istrinya yang terpaut beda usia 41 tahun, sehingga almarhum pun menyiapkan banyak tabungan tersebut," ujar Jefri.
Menurut Jefri, Pinangki menikah secara resmi dengan seorang Jaksa bernama Djoko Budiharjo pada 2006. Djoko pernah menjabat sebagai Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Riau, Sulawesi Tenggara, Jawa Barat dan terakhir sebagai Sekretaris Jaksa Agung Muda bidang Pengawasan (Sesjamwas) dan setelah pensiun berpraktik sebagai advokat.
"Pernikahan terdakwa dengan Djoko Budiharjo berlangsung 2 tahun setelah perceraiannya dengan istri pertama Djoko pada 2004, sehingga saat menikah, Djoko Budiharjo berstatus duda. Namun pernikahan antara terdakwa dan suaminya ini berakhir dengan meninggalnya Djoko Budiharjo pada Februari 2014," ungkap Jefri.
Sepeninggalan Djoko, Pinangki baru menikah lagi dengan Napitupulu Yogi Yusuf seorang perwira polisi. "Mengingat peninggalan almarhum suami terdakwa yang cukup banyak itulah, maka dalam pernikahan keduanya ini terdakwa membuat perjanjian pisah harta dengan Napitupulu Yogi Yusuf," tambah Jefri.
Jefri juga membantah kliennya menjadi tahanan spesial Kejaksaan Agung. "Terdakwa menjadi bertanya-tanya dengan isu yang mengatakan terdakwa dispesialkan dan tidak ditahan selama penyidikan karena ada pihak diluar sana yang meniupkan isu terdakwa mendapatkan perlakuan spesial karena statusnya sebagai jaksa, bahkan yang terakhir adalah ketika dikatakan terdakwa semena-mena dengan tahanan lain," kata Jefri.
Menurut Jefri, Pinangki ditahan sejak 11 Agustus 2020 oleh penyidik dan langsung ditempatkan dalam ruang tahanan di lantai 7A Kejaksaan Agung bersama-sama dengan tahanan Kejaksaan lainnya dan menjalani isolasi selama 14 hari tanpa bisa menemui siapapun termasuk anaknya yang masih berumur 4 tahun, bahkan penasihat hukum pada saat itu baru bisa mendampingi pada saat ada pemeriksaan penyidik saja, di luar itu tidak bisa.
"Saat dibawa untuk pemeriksaan penyidikan, terdakwa juga diperlakukan sama dengan tersangka lainnya, dipakaikan rompi tahanan berwarna pink, dengan tangan diborgol dan semua itu karena memang aturannya seperti itu maka terdakwa terima dengan lapang dada. Apakah hal tersebut spesial? Tidak, semua perlakuan sama," jelas Jefri.
Selama masa isolasi 14 hari itu, menurut Jefri, Pinangki tidak mengetahui bahwa isu yang beredar sangat liar dan melibatkan banyak pihak yang mana baru diketahui setelah diceritakan oleh tim penasihat hukum. "Terdakwa tidak mau orang yang tidak ada hubungannya dengan hal ini menjadi terlibat hanya karena ada pihak tertentu yang mau menjadikan terdakwa sebagai alat untuk menjatuhkan nama baik orang lain," ungkap Jefri.
Dalam perkara ini jaksa Pinangki didakwa dengan tiga dakwaan yaitu pertama dakwaan penerimaan suap sebesar 500 ribu dolar AS (sekitar Rp7,4 miliar) dari terpidana kasus cessie Bank Bali Joko Soegiarto Tjandra; kedua dakwaan pencucian uang yang berasal dari penerimaan suap sebesar 444.900 dolar atau sekitar Rp 6.219.380.900 sebagai uang pemberian Joko Tjandra untuk pengurusan fatwa ke MA; dan ketiga dakwaan pemufakatan jahat bersama dengan Andi Irfan Jaya dan Joko Tjandra untuk menyuap pejabat di Kejagung dan MA senilai 10 juta dolar AS.
Sidang akan dilanjutkan pada Rabu, 7 Oktober 2020 untuk mendengarkan pendapat Penuntut Umum atas eksepsi.