Rabu 30 Sep 2020 17:46 WIB

Media Inggris: Turki Bayar Milisi Suriah untuk Azerbaijan

Milisi Suriah dilaporkan mendaftar untuk menjaga perbatasan di Azerbaijan.

Rep: Lintar Satria/ Red: Nur Aini
Suasana perang antara Azerbaijan dan Armenia
Foto: Google.com
Suasana perang antara Azerbaijan dan Armenia

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Salah seorang sumber milisi Suriah mengatakan banyak anggota kelompoknya mendaftar untuk bekerja di perusahaan keamanan swasta Turki sebagai penjaga perbatasan di Azerbaijan. Mereka ikut datang ke perbatasan saat konflik antara Azerbaijan dan negara tetangganya Armenia semakin memanas.

Potensi keterlibatan milisi Suriah itu dinilai merupakan tanda meningkatnya keinginan Turki untuk memproyeksikan kekuatan di luar negeri, serta salah satu upaya mereka membuka medan persaingan ketiga dengan rival regionalnya yakni Moskow. Sejak konflik di Suriah dan Libya, Ankara sudah terlibat dalam perebutan kekuasaan yang tidak stabil dengan Rusia. Kini ketegangan itu bisa meluas ke Nagorno-Karabakh.

Baca Juga

Senin (28/9) lalu media Inggris, the Guardian melaporkan tiga pria yang tinggal di daerah terakhir yang dikuasai pemberontak di Suriah mengatakan kemiskinan dan perang yang berlangsung hampir satu dekade membuat mereka tertarik untuk mendaftar bersama para pemimpin milisi untuk bekerja di perusahaan keamanan Turki. Perantara menjanjikan lowongan kerja di luar negeri.  

Mereka berharap dapat melakukan perjalanan melintasi perbatasan ke Turki sebelum diterbangkan ke Azerbaijan. Dua bersaudara yang tinggal di Azaz, Muhammad dan Mahmoud mengatakan mereka dipanggil ke kamp militer di Afrin pada 13 September lalu. Keduanya meminta nama mereka disamarkan karena sensitifnya masalah ini.

Sesaat setelah tiba mereka diberitahu oleh seorang komandan di divisi Sultan Murad yang didukung Turki ada pekerjaan untuk menjaga pos pengamatan dan fasilitas minyak dan gas di Azerbaijan dengan kontrak tiga atau enam bulan. Mereka akan mendapatkan upah sebesar tujuh hingga 10 ribu lira Turki per bulan. Jauh lebih besar daripada yang bisa mereka hasilkan di kampung halaman.

Komandan itu tidak memberitahu pekerjaan apa yang akan mereka dilakukan, berapa lama, atau kapan mereka akan berangkat. Orang-orang itu juga tidak tahu bekerja untuk perusahaan Turki yang mana, atau siapa yang akan membayar gaji mereka.

"Komandan mengatakan kami tidak akan berperang, hanya membantu menjaga beberapa daerah, gaji kami di sini tidak cukup untuk hidup, jadi kami melihatnya sebagai peluang besar untuk menghasilkan uang," kata Mohammad kepada the Guardian.

Gaji yang dijanjikan sangat besar bila dibandingkan gaji yang yang diperoleh pemberontak Suriah dari Ankara dalam perang melawan presiden Suriah Bashar al-Assad yakni sebesar 450 hingga 550 lira Turki sebulan. Sejak awal Ankara telah mendukung oposisi di Suriah. Mereka membantu kelompok Tentara Pembebasan Suriah yang dalam posisi lemah dan terpecah karena pertikaian dalam barisan pemberontak. Turki juga menggunakan pemberontak sebagai proksi melawan pasukan yang dipimpin Kurdi, meskipun ada tuduhan pelanggaran hak asasi manusia.

Sejak Desember, Ankara juga memfasilitasi pergerakan ribuan pemberontak Suriah ke Libya sebagai tentara bayaran. Para pemberontak itu berhasil membantu mengubah pemerintah yang diakui PBB dalam perang saudara melawan Khalifa Haftar.

Omar dari kota Idlib, yang juga meminta nama aslinya disamarkan, dipanggil ke Afrin pada 22 September bersama 150 pria lainnya. Ia diminta bersiap untuk berangkat, tapi di hari yang sama ia beritahu penempatannya ditunda sampai pemberitahuan lebih lanjut.

“Ketika kami pertama kali ditawari pekerjaan di luar negeri di Libya, orang-orang takut untuk pergi ke sana, tetapi sekarang pasti ada ribuan dari kami yang bersedia pergi ke Libya atau Azerbaijan, di sini sudah tidak ada apa-apa lagi bagi," katanya.

Kedatangan milisi asing itu dinilai akan memicu kompleksitas pertempuran antara Yerevan dan Baku atas wilayah Nagorno-Karabakh. Wilayah yang dalam disengketakan, sebuah daerah yang secara hukum bagian dari Azerbaijan tetapi telah dikuasai etnis Armenia sejak negara itu mendeklarasikan kemerdekaan usai Uni Soviet runtuh pada 1991. Daerah tersebut menarik perhatian Barat karena merupakan koridor utama pipa minyak dan gas.

Bentrokan pada bulan Juli lalu menewaskan 17 orang dan pertempuran empat hari terakhir yang telah menewaskan puluhan orang menimbulkan kekhawatiran baru. Konflik yang lama terpendam akan aktif kembali dan memicu perang besar-besaran.

Turki memiliki ikatan budaya dan ekonomi yang kuat dengan Azerbaijan. Sedangkan, Rusia secara tradisional dekat dengan Armenia tetapi dalam beberapa tahun terakhir juga menjalin hubungan dengan elit Azerbaijan. Moskow menjual senjata untuk kedua belah pihak.

Sementara sebagian besar komunitas internasional, termasuk Rusia meminta Armenia dan Azerbaijan menurunkan ketegangan dan kembali ke proses diplomatik. Sementara presiden Turki, Recep Tayyip Erdoğan, mengatakan Baku mendapat dukungan penuh dari negaranya.

"Orang-orang Turki berdiri dengan saudara Azeri mereka dengan segala cara kami, seperti biasa," cicitnya di Twitter.

Ia mengkritik negara lain karena menggunakan; standar ganda dan reaksi yang tidak memadai' terhadap apa yang ia sebut sebagai serangan Armenia. Para pengamat mempertanyakan mengapa pasukan militer Baku yang sangat terlatih dan bersenjata masih membutuhkan bantuan dari tentara bayaran Suriah.  

“Warga Suriah menolak dan masih menolak logika ini, tetapi kehancuran ekonomi akibat perang dan depresiasi mata uang Suriah baru-baru ini membuat sebagian besar warga Suriah sekarang berjuang untuk memberi makan diri mereka sendiri," kata peneliti Center for Global Policy yang berbasis di Washington DC Elizabeth Tsurkov.  

"Dihadapkan dengan sedikit pilihan, banyak yang sekarang bersedia menjual diri mereka kepada penawar tertinggi,” kata Tsurkov.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement