Rabu 30 Sep 2020 19:12 WIB

Penyidik Polri Beberkan Adanya Bukti Napoleon Terima Rp 7 M

Saat ini, kubu Polri dan Napoleon Bonaparte tengah berperkara di sidang praperadilan.

Rep: Bambang Noroyono/ Red: Andri Saubani
Irjen Napoleon Bonaparte (tengah) usai sidang praperadilan di PN Jaksel, Senin (28/9)
Foto: Bambang Noroyono
Irjen Napoleon Bonaparte (tengah) usai sidang praperadilan di PN Jaksel, Senin (28/9)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Penyidik Bareskrim Polri meyakini adanya bukti kuat terkait penerimaan uang dari tersangka Tommy Sumardi kepada Irjen Napoleon Bonaparte senilai Rp 7 miliar. Uang tersebut, penyidik katakan, terkait kompensasi penghapusan red notice buronan terpidana Djoko Sugiarto Tjandra dari daftar pencarian orang (DPO) interpol dan sistem imigrasi.

Pemberian itu, dikatakan penyidik, diberikan langsung di ruang kerja mantan Kadiv Hubinter Mabes Polri itu. Tepatnya, di lantai 11 gedung TNCC Mabes Polri.

Baca Juga

“Sampai dong (uang Rp 7 miliar). Jabarkan saja, waktu (Tommy Sumardi) datang bawa paper bag. Masuk (ke ruang Napoleon). Datang bawa paper bag, pulang enggak bawa,” kata penyidik dari Bareskrim Polri, MLY saat ditemui usai sidang keempat praperadilan Napoleon di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), pada Rabu (30/9).

MLY, penyidik, dan salah satu kordinator tim hukum yang diutus Bareskrim menghadapi gugatan praperadilan Napoleon. Namun MLY, tak bersedia nama lengkapnya disebutkan.

Kegiatan Tommy Sumardi, yang memasuki ruang Napoleon dengan membawa bungkusan, kata MLY terekam dalam CCTV yang menjadi bukti bagi penyidik di pengadilan nantinya. Isi dalam paper bag tersebut, memang menjadi pertanyaan. Akan tetapi, pertanyaan tersebut, kata MLY akan terjawab dalam sidang yang menghadirkan Napoleon sebagai terdakwa.

“Apakah paper bag itu dibakar, atau apa, kita belum katakan. Tetapi itu nyampe. Datang bawa (paper bag), pulang enggak bawa. Ke mana paper bag-nya,” terang MLY.

MLY menerangkan, sebetulnya dalam jawaban Polri atas gugatan praperadilan termohon, sudah disampaikan tentang kronologi, dan bukti-bukti permulaan yang akurat terkait rangkaian pidana penghapusan status buronan Djoko Tjandra, dan penerimaan uang tersebut. Dikatakan dia, dari penyidikan tim di Bareskrim, disebutkan pada 13 April 2020, Tommy mendatangi Napoleon di ruang kerjanya di lantai 11 TNCC Mabes Polri.

“Untuk membicarakan red notice,” terang MLY.

Dari pembicaraan tersebut, diterangkan MLY, Napoleon memerintahkan KBP Tommy Arya yang diketahui bawahan tersangka, untuk mengadakan rapat terkait red notice Djoko Tjandra. Rapat yang disebutkan tanpa undangan tersebut, dilakukan tanpa notulensi.

Rapat kemudian, berujung pada keputusan Napoleon, menerbitkan berita faksimili yang ditujukan kepada Jaksa Agung Muda Bidang Pembinaan (JAM Bim) di Kejaksaan Agung (Kejakgung). Pada 14 April, faks tersebut, dikirimkan ke Kejakgung, dengan nomor NCB-Div HI/Fax/529:IV/2020. Isinya tentang konfirmasi perkara dan status red notice Djoko Tjandra alias Joe Chan.

“Bahwa berdasarkan fakta yang diperoleh dari penyidikan, faksimili tersebut sebenarnya yang mengawali terjadinya tindak pidana tersebut,” terang MLY.

Karena, kata dia, mengacu peran dan tugas Napoleon sebagai Kadiv Hubinter Mabes Polri, sejatinya sudah mengetahui tentang status red notice Djoko Tjandra di daftar DPO Interpol.

“Mengapa Div Hubinter, harus membuat faksmili tersebut untuk bertanya khusus untuk perkara Djoko Tjandra, dan tidak untuk mengurus red notice lainnya,” kata penyidik.

Terkait tentang penerimaan uang, pun MLY menerangkan, pemberian tersebut terjadi pada April dan Mei 2020. Yaitu ketika Tommy Sumardi, menyerahkan kepada Napoleon uang sebesar Rp 7 miliar. Uang tersebut, dikatakan dalam bentuk dolar AS, dan Singapura yang diberikan bertahap sepanjang April sampai Mei.

Uang tersebut, disebut sebagai kompensasi kepada Napoleon, yang memerintahkan KBP Tommy, dalam menerbitkan produk hukum, berupa surat sampai terhapusnya red notice Djoko Tjandra di dalam sistem imigrasi Indonesia. Surat tersebut ditandatangani Ses NCB Brigjen Nugroho Slamet Wibowo.

“Setiap pemohon (Napoleon) melaksanakan prestasinya dalam bentuk penerbitan surat-surat tersebut, terjadi penerimaan uang per termin, sejumlah total keseluruhan sebesar Rp 7 miliar,” terang MLY.

Nilai Rp 7 miliar tersebut, pun terungkap dalam sidang praperadilan sebelumnya, Selasa (29/9). Dijabarkan pula tentang kronologi permufakatan jahat terkait rencana penghapusan red notice Djoko Tjandra. Dikatakan tim hukum Polri, bahwa pada Maret 2020, Djoko Tjandra yang terlebih dahulu menghubungi Tommy Sumardi.

Komunikasi keduanya menyampaikan agar Tommy Sumardi membantu pencabutan status buronan Djoko Tjandra di Indonesia. Djoko Tjandra, menyiapkan uang untuk pencabutan red notice itu.

“Biaya pencabutan red notice, awalnya Tommy Sumardi mengatakan biayanya Rp 15 miliar. Tetapi Djoko Tjandra, keberatan dan menyepakati sebesar Rp 10 miliar,” begitu kata tim hukum Polri, Selasa (29/9).

Dikatakan pula, kontak antara Tommy Sumardi dan Napoleon, lewat perkenalan dengan tersangka Brigjen Prasetijo Utomo, yang pernah menjabat Kakorwas PPNS Polri. Tommy Sumardi mendatangi Prasetijo pada April 2020, dan membawanya ke ruang kerja Napoleon.

Dalam pertemuan itu, Tommy Sumardi mengutarakan maksudnya agar Napoleon mengecek status red notice Djoko Tjandra. Dalam pertemuan itu, Tommy Sumardi menawarkan Rp 3 miliar agar red notice tersebut, dibuka.

Sebagian uang tersebut, pun sudah dibagi-bagi dalam bentuk dolar. Sebesar 20 ribu dolar untuk Prasetijo, dan 50 ribu dolar disiapkan untuk Napoleon. Tetapi, Napoleon menolak nominal tersebut, dengan mengatakan biayanya sebesar Rp 7 miliar.

“Irjen Napoleon tidak mau menerima. Dan meminta Rp 7 miliar,” kata tim hukum.

Seusai sidang keempat praperadilan, Napoleon kembali membantah penerimaan uang tersebut. Meskipun ia mengakui bertemu dengan Tommy Sumardi di ruang kerjanya. Napoleon menegaskan, tak ada pembicaraan uang dalam pertemuan tersebut.

“Dari mana itu? Saya tidak tahu. Mungkin dia (Tommy Sumardi) sudah kasih duit ke orang lain ya. Tapi kepada saya apa tidak tujuannya, saya tidak tahu itu,” kata Napoleon.

Pengacaranya, Gunawan Raka, pun mengakui, dalam kronologi kasus, rentetan uang Rp 7 miliar itu memang ada. Tetapi, ia menolak tudingan Bareskrim yang menuding kliennya, ikut mengantongi uang tersebut.

“Bukti rentetan uang (Rp) 7 miliar itu memang ada. Tetapi, uangnya enggak ada. Hanya ada tanda terima dari Djoko Tjandra yang diterima Tommy Sumardi. Tidak ada di ini,” kata Gunawan, sambil menyolek Napoleon yang ada di sebelahnya.

 

photo
Action Plan Bebaskan Djoko Tjandra Lewat Fatwa MA - (Republika)

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement