Kamis 01 Oct 2020 13:27 WIB

Kinerja Manufaktur Turun, PSBB Jakarta Jadi Faktor Utamanya

Kinerja manufaktur Indonesia turun ke level 47,2 persen.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Friska Yolandha
Kinerja manufaktur Indonesia mengalami kemunduran pada September di tengah penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) lagi di Jakarta dan kota-kota sekitarnya.
Foto: ANTARA/Yulius Satria Wijaya
Kinerja manufaktur Indonesia mengalami kemunduran pada September di tengah penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) lagi di Jakarta dan kota-kota sekitarnya.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kinerja manufaktur Indonesia mengalami kemunduran pada September di tengah penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) lagi di Jakarta dan kota-kota sekitarnya. Penurunan kinerja ini terlihat dari Manufacturing Purchasing Managers’ Index (PMI) Indonesia yang berada pada level 47,2 pada September. Level di bawah 50 menunjukkan adanya kontraksi atau penyusutan pada kinerja manufaktur.

Kepala Ekonom IHS Markit Bernard AW mengatakan, PMI September mengalami penurunan dibandingkan Agustus yang sudah berada di atas 50, yaitu 50,8. “Ini menandai penurunan pertama dalam PMI Indonesia sejak April,” ucap Aw, seperti dilansir di pernyataan resmi IHS Markit, Kamis (1/10).

Baca Juga

Pemberlakukan kembali PSBB di Jakarta pada pertengahan September untuk menekan laju penyebaran virus corona menjadi salah satu faktor utama kontraksinya PMI. Kebijakan ini dianggap berdampak negatif pada penjualan dan produksi manufaktur.

Angka PMI terbaru menunjukkan, sektor manufaktur Indonesia menghadapi masa-masa yang menantang pada bulan-bulan mendatang. Pemulihannya bergantung pada kemampuan negara dalam mengendalikan pandemi Covid-19. "Prospek tahun depan tetap positif, tapi keyakinannya bergantung pada peningkatan Covid-19," kata Aw.

IHS Markit juga mencatat, arus masuk pesanan turun tajam pada September, setelah sempat tumbuh signifikan pada Agustus. Hanya saja, penurunan pada bulan lalu memang lebih baik dibandingkan kontraksi parah antara Maret hingga Juni, pada puncak pandemi Covid-19.

Aw mengatakan, perusahaan terus mengurangi kapasitas dan biaya overhead sebagai bagian dari upaya untuk mengendalikan biaya serta menjaga kondisi keuangan perusahaan. Dampaknya, pekerjaan menyusut untuk tujuh bulan berturut-turut. Bahkan, laju kenaikan jumlah orang yang kehilangan pekerjaan semakin cepat seiring dengan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) diberlakukan di banyak perusahaan.

Sementara itu, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Febrio Kacaribu mengatakan, tren PMI sejalan dengan tren indikator mobilitas yang telah mengalami perbaikan walaupun dengan akselerasi melambat. Ini dikarenakan masih terdapat eskalasi penularan Covid-19.

Respons kebijakan pemerintah disebutkan Febrio sudah on-track dan perlu diperkuat dalam penanganan Covid-19. Khususnya, melalui peningkatan langkah TLI (Tes, Lacak, Isolasi) dan disiplin gerakan 3M (Memakai Masker, Mencuci Tangan, dan Menjaga Jarak).

"Serta, melengkapi berbagai langkah perlindungan masyarakat miskin dan rentan terdampak melalui berbagai program perlindungan sosial serta dukungan terhadap dunia usaha agar dapat bertahan selama pandemi," katanya, dalam pernyataan resmi yang diterima Republika.co.id, Kamis (1/10).

Secara rata-rata, Febrio mencatat, PMI pada kuartal tiga ini mencapai 48,3 yang menggambarkan kondisi industri manufaktur masih menantang. Tapi, level itu sudah meningkat dibandingkan PMI kuartal sebelumnya yang sebesar 31,73.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement