REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Subroto, Jurnalis Republika
Hari itu tahun 1998, aku baru saja selesai liputan di Jakarta Utara. Sudah pukul 15.00 WIB lewat. Aku harus buru-buru kembali ke kantor. Di kantor ada tamu menteri yang akan datang. Aku diminta untuk meliput pertemuan itu.
Aku putuskan naik kereta saja dari Stasiun Kota. Lebih cepat. Nanti turun di Stasiun Pasar Minggu. Dari Stasiun Pasar Minggu tinggal naik angkot atau naik ojek ke kantor di Jalan Buncit Raya No 37.
Setelah membeli karcis di loket, aku buru-buru naik ke kereta arah ke Depok. Kereta sudah mau berangkat. Beruntung bisa masuk saat kereta hampir saja melaju.
Segera saja aku duduk di kursi yang masih kosong. Aku tak terlalu pedulikan sekeliling. Pikiranku hanya tertuju ke kantor.
Setelah kereta melaju beberapa saat, aku merasa ada yang tidak beres. Agak heran, ini sore hari tapi kereta kok kosong. Sudah dua stasiun dilewati tapi mengapa kereta tidak berhenti? Biasanya kereta kan berhenti di tiap stasiun.
Aku tanya seorang Bapak tua yang duduk di sebelahku. “Kok keretanya nggak berhenti di tiap stasiun ya Pak?” tanyaku.
“Memang nggak, ini kan kereta AC. Jadi berhentinya ya cuma di Depok,” jawab si bapak.
Haaa… aku kaget. Aku salah naik kereta ternyata. Pantas kereta ini tidak padat. Kursinya pun empuk, tidak seperti kereta ekonomi.
Seharusnya aku naik KRL ekonomi yang berhenti di setiap stasiun. Tapi karena buru-buru aku tak menyadari salah kereta.
Wah bagaimana ini? Kalau turun di Stasiun Depok berarti harus nunggu kereta ke arah Jakarta yang lewat Pasar Minggu. Bakalan lama lagi, karena harus menunggu, dan melewati lima stasiun lagi.
Padahal aku harus segera sampai di kantor. Tamu kantor sudah mau datang. Sekretariat redaksi mengabarkan rombongan menteri sudah hampir sampai.
Aku putuskan untuk menuju ruang masinis yang berada di gerbong paling ujung. Ruang masinis dibatasi pintu dengan kaca di bagian atasnya. Aku bisa melihat masinis dan pembantunya sedang menjalankan kereta.
Aku ketuk-ketuk pintu kaca bagian atas. Sang masinis menoleh. Aku beri isyarat agar bisa bicara dan masuk ke ruang masinis. Namun dia menolak dengan melambaikan tangan.
Waduh tidak ada harapan. Kereta sudah sampai Stasiun Cawang, tinggal tiga stasiun lagi sampai di Pasar Minggu. Jika gagal berheti di Pasar Minggu, aku bakalan bablas sampai Depok.
Aku berpikir keras, bagaimana supaya bisa minta masuk ke ruang masinis dan memohon agar kereta berhenti di Pasar Minggu? Di tengah kebingungan, aku teringat punya ID card wartawan peliput di Departemen Perhubungan. Urusan kereta api kan berada di bawah Dephub. Mana tahu berpengaruh.
Langsung saja aku keluarkan kartu itu dari dompet. Aku tempelkan di depan kaca. Masinis melihat ID card yang berlogo Departemen Perhubungan itu. Dia terlihat kaget. Buru-buru dia membuka pintu.
“Ada apa Mas?,” tanya si masinis.
“Mohon maaf Pak saya wartawan Perhubungan. Tadi habis liputan dengan Dirut Perumka (Perusahaan Umum Kereta Api). Saya salah naik kereta. Harusnya naik ekonomi dan berhenti di Pasar Minggu,” kataku menjelaskan.
Si masinis melonggo. “Waduh, nggak bisa berhenti di Pasar Minggu, Mas. Ini kereta AC, berhentinya di Stasiun Depok,” katanya.
“Tolonglah Pak. Saya harus segera ke kantor ditunggu menteri,” kataku mengiba.
Sang masinis garuk-garuk kepala. Bingung dia. “Masnya ini bikin susah saja. Ini melanggar aturan,” gerutunya.
“Maaf Pak. Nanti kalau ditegur, saya bantu bilang ke Dirut Perumka.” kataku sekenanya.