Kamis 01 Oct 2020 15:23 WIB

Pengurangan Hukuman Koruptor Belum Berarti Buruk

Pengurangan hukuman koruptor tidak bisa dipukul rata buruk.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Indira Rezkisari
Ilustrasi Korupsi. Peneliti Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP) Muhammad Tanziel Aziezi meminta masyarakat tak sepotong memaknai pengurangan hukuman koruptor oleh Mahkamah Agung (MA).
Foto: Foto : MgRol111
Ilustrasi Korupsi. Peneliti Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP) Muhammad Tanziel Aziezi meminta masyarakat tak sepotong memaknai pengurangan hukuman koruptor oleh Mahkamah Agung (MA).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP) Muhammad Tanziel Aziezi meminta masyarakat tak sepotong memaknai pengurangan hukuman koruptor oleh Mahkamah Agung (MA). Masyarakat sebaiknya memahami lebih dulu pertimbangan hakim hingga mengambil putusan itu.

Aziezi menyebut pengurangan hukuman belum tentu salah seperti halnya menaikkan hukuman. Hal ini tergantung pertimbangan hakim dalam menilai kesalahan terdakwa berdasarkan fakta-fakta yang terbukti di persidangan.

Baca Juga

"Kalau alasannya masuk akal dan kuat, pada dasarnya, tidak ada masalah mau menaikkan atau menurunkan hukuman. Jadi, sebelum kita memvonis apakah sebuah putusan yang menurunkan hukuman itu bermasalah, kita harus baca pertimbangan hukum dari majelis hakim dalam menentukan lama hukuman," kata Aziezi pada Republika, Kamis (1/10).

Aziezi memandang tidak bisa pukul rata bahwa PK atau upaya hukum lainnya tidak boleh menurunkan hukuman karena asumsi-asumsi tertentu. Semuanya harus berdasarkan fakta persidangan dan pertimbangan hakim dalam putusan.

"Kalau masuk akal, berarti tidak ada yang salah," sebut Aziezi.

Aziezi mengingatkan menurunkan atau menaikkan hukuman tidak selalu berarti ada yang salah dengan putusan seorang hakim. Menurutnya, semuanya harus dikembalikan ke fakta-fakta persidangan dan pertimbangan hakim dalam memutus, kemudian dianalisis dengan logika hukum yang benar.

"Asumsi bahwa hukuman ringan tidak mendatangkan efek jera juga harus dipikirkan ulang karena toh menghukum berat juga belum tentu membuat jera," ucap Aziezi.

Diketahui, MA kembali mengabulkan PK dan memangkas masa hukuman dua mantan pejabat Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Irman dan Sugiharto yang terlibat dalam kasus korupsi kartu tanda penduduk elektronik (KTP-el).

Hukuman penjara Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil, Irman berkurang dari 15 tahun penjara di tingkat kasasi menjadi 12 tahun penjara berdasarkan putusan PK tersebut. Sementara mantan Direktur Pengelolaan Informasi dan Administrasi Ditjen Dukcapil, Sugiharto dipangkas dari 15 tahun penjara di tingkat kasasi menjadi 10 tahun penjara.

Pertimbangan Majelis Hakim tingkat PK mengurangi hukuman keduanya, lantaran Irman dan Sugiharto telah ditetapkan oleh KPK sebagai justice collaborator (JC) dalam tindak pidana korupsi sesuai keputusan Pimpinan KPK No. 670/01-55/06-2017 tertanggal 12 Juni 2017.

Sebelum Irman dan Sugiharto, MA juga telah memotong masa hukuman kepada 20 terpidana kasus korupsi lainnya. Pengurangan hukuman itu mereka dapatkan melalui putusan PK sepanjang 2019 hingga 2020.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement