REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Amerika Serikat telah mengambil tindakan terhadap satu persen dari 400 ribu pelajar asal China di AS. Hal itu terkait upaya China untuk mengumpulkan informasi teknologi AS dan keterangan penting lainnya.
Wakil Penasihat Keamanan Gedung Putih Matt Pottinger, yang telah menjadi salah satu sosok utama dalam perkembangan kebijakan Presiden Donald Trump terhadap China, mengatakan AS tetap menyambut mayoritas pelajar asal China.
"Ini adalah pendekatan yang akurat," kata Pottinger dalam suatu acara daring, yang diselenggarakan oleh Ronald Reagan Institute.
Ia merujuk pada kebijakan pemerintah yang menolak mengeluarkan visa pelajar bagi para warga negara China yang dianggap mengancam keamanan. "Presiden Trump telah mengambil langkah untuk menargetkan kira-kira satu persen dari jumlah yang besar itu, untuk menargetkan para periset China yang terhubung dengan militer, yang dalam beberapa kasus berada di AS di bawah alasan palsu atau bahkan identitas palsu," ujarnya.
Kasus-kasus lainnya melibatkan individu-individu yang telah datang ke AS untuk mendapatkan akses pada teknologi Paman Sam sehingga berguna bagi kemajuan militer China.
Pottinger mengatakan, mayoritas pelajar China adalah orang-orang yang disenangi di sini. Mereka bisa memulai membangun bisnis hebat.
Langkah pemerintahan Trump terhadap sejumlah pelajar China berlangsung pada saat hubungan antara kedua negara anjlok ke titik terendah dalam beberapa dekade. Trump ditengarai menggunakan isu China untuk terpilih kembali pada pilpres 3 November.
Dua negara dengan ekonomi terbesar dunia itu telah bentrok dalam serangkaian masalah, mulai dari perdagangan dan hak asasi manusia hingga soal Hong Kong dan virus Corona.
Departemen Luar Negeri AS mengatakan, bulan ini Amerika Serikat telah mencabut visa bagi lebih dari 1.000 pelajar dan peneliti China yang dianggap menimbulkan risiko keamanan. China menyebut tindakan tersebut sebagai pelanggaran terhadap hak asasi manusia.
Washington mengatakan, tindakan itu merupakan tindak lanjut pernyataan Trump pada 29 Mei, sebagai tanggapan atas pembatasan China pada demokrasi di Hong Kong. Banyaknya mahasiswa China yang belajar di Amerika Serikat mendatangkan pendapatan yang signifikan bagi universitas-universitas AS, meskipun pandemi Covid-19 sangat mengganggu kegiatan kembali ke kampus pada musim gugur ini.