REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Direktur Ayn Rand Institute, Elan Journo mengatakan, Turki, sebagai negara di ujung Eropa dan Timur Tengah memiliki kelebihan lain, dari sekadar geografisnya.
Menurut dia, Turki juga bisa dipuji sebagai masyarakat modern, sekuler, dan pro Barat. ‘’Setidaknya hingga dekade terakhir,’’ kata dia.
Dalam opininya yang terbit di new ideal, Rabu (30/9), Turki, negara mayoritas Muslim telah mengalami berbagai perubahan, khususnya dari segi pandangan dan agama. Hingga abad ke-20, Turki masih merupakan Republik sekuler, yang menjamin kebebasan beragama dan tidak memiliki agama resmi.
Tak hanya itu, meski berada di Timur Tengah, Turki kata dia, merupakan anggota NATO. Dan masih berusaha untuk bergabung dengan Uni Eropa.
Namun, dalam 20 tahun terakhir, banyak perubahan yang kentara. Utamanya, sejak tahun 2000-an, di mana sistem politik Turki, kata dia, bergerak menuju sistem yang dibentuk oleh ide Islam.
“Turki telah mendanai dan mengaktifkan kelompok-kelompok jihad seperti Hamas. Dan itu bersaing dengan Arab Saudi dan Iran untuk menjadikan dirinya sebagai pemimpin komunitas Muslim global,’’ tambahnya.
Untuk mempertegas argumennya, Elan mengutip percakapannya dengan mantan pejabat Pentagon dan akademisi tetap di American Enterprise Institute, Dr Michael Rubin.
Rubin yang berfokus pada Turki, Iran dan Timur Tengah, kata Elan, termasuk salah satu yang memperingatkan keberadaan dan tren yang diambil Turki.
Kekuatan pendorong di balik pembentukan kembali Turki menurutnya, adalah pemimpin negara dari Turki itu sendiri. Khususnya, ketika Recep Tayyip Erdoğan yang menjabat di pemerintahan, digambarkan Rubin sebagai seorang pria ‘jihadis’ dalam setelan bisnis.
Lebih lanjut, Rubin berpendapat jika Arab Saudi adalah kebangkitan gerakan Islam pada abad kedua puluh. Namun, pada abad selanjutnya, Turkilah yang bertujuan untuk mengambil peran tersebut.
"Dari wawancara saya dengan Rubin, yang dapat Anda lihat, beberapa kesimpulan menonjol terkait transformasi Turki. Pertama, Erdogan memulai rencana yang diperhitungkan untuk memasukkan ide-ide Islam ke dalam masyarakat Turki,’’ kata Elan.
Kedua, kampanye Erdoğan bersifat inkrementalis, yang berupaya membentuk kembali institusi dan sistem hukum dari dalam, tetapi juga oportunistik. Selain mengeksploitasi dalih, untuk membungkam perbedaan pendapat. ‘’Terakhir, sangat penting untuk menyadari bahwa otoritarianisme Erdoğan sekarang sedang bergerak menuju kediktatoran,’’ tuturnya.
Dia menegaskan, dalam sistem perebutan kekuasaan yang lebih besar ini, ada sarana untuk mencapai tujuan akhir. Utamanya, dalam menciptakan masyarakat Islam.
Dengan kata lain, rezim-rezim Islamis di Iran, Arab Saudi, Afghanistan dan di tempat lain menurut Elan, masih bercita-cita, dan terkadang mencapai, kekuatan totaliter.
Walaupun, variasi yang dapat dikenali dari pemerintahan Islam ini bukanlah satu-satunya. ‘’Bisa juga terlihat seperti Turki, kecuali kita menyadarinya, kita mengabaikan pengaruh ide-ide Islamis.’’ ungkap Elan.
Sumber: https://newideal.aynrand.org/how-turkey-went-from-secular-to-islamic-authoritarianism/