Jumat 02 Oct 2020 05:00 WIB

Penyintas Covid-19 Alami Parosmia dan Phantosmia, Apa Itu?

Covid-19 sebabkan penyintas mengalami sejumlah distorsi bau yang tercium.

Rep: Puti Almas/ Red: Reiny Dwinanda
Kasus parosmia dan phantosmia terkait Covid-19 masih cukup jarang terjadi.
Foto: www.freepik.com
Kasus parosmia dan phantosmia terkait Covid-19 masih cukup jarang terjadi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anosmia alias kehilangan fungsi indra penciuman telah menjadi gejala Covid-19 yang khas. Begitu sembuh, penyintas infeksi virus SARS-CoV-2 rupanya ada yang masih diusik oleh kondisi lainnya di hidung, yakni parosmia dan phantosmia.

Parosmia adalah kondisi ketika fungsi penciuman menjadi pengalaman yang tidak menyenangkan dan sangat mengganggu. Sementara phantosmia membuat hidung mencium bau yang sebenarnya tak ada.

Baca Juga

Parosmia dan phantosmia erat kaitannya dengan ketidakmampuan hidung mengendus bau-bauan (anosmia). Keduanya cenderung terjadi akibat kerusakan serabut saraf penciuman, dalam hal ini disebabkan oleh infeksi virus corona jenis baru. Anosmia bisa juga disebabkan oleh merokok, kanker, trauma otak, dan kondisi neurologis lainnya.

Meski tidak berdampak bagi kesehatan, kondisi tersebut dapat sangat menganggu. Bisa dibayangkan, jika aroma dari makanan favorit Anda tiba-tiba jadi berbau seperti sampah, tentunya ini akan memengaruhi nafsu makan.

Sejumlah studi tentang parosmia sebelumnya menemukan bahwa pemicu terbesar kondisi ini adalah tembakau, kopi, parfum, coklat, dan bensin. Penelitian mengenai dampak Covid-19 pada indra manusia serta distorsi kemosensori lainnya belum dipelajari dalam laporan tentang hilangnya kemampuan mengenali rasa dan bau.

Kasus parosmia dan phantosmia terkait Covid-19 masih cukup jarang terjadi. Dilansir Health 24, sekitar 7,5 persen responden penelitian melaporkan parosmia dan sekitar 8,3 persen mengalami phantosmia.

Gangguan tersebut juga muncul lebih lama setelah pemulihan. Terkadang, ini bahkan dapat terjadi berbulan-bulan setelah pasien Covid-19 sembuh dari infeksi.

Studi terbaru berfokus pada orang yang baru sembuh, yang berarti tidak ada cukup waktu untuk menyelidiki prevalsensi sebenarnya dari kondisi distorsi bau ini. Majalah Smithsonian juga pernah melaporkan bahwa ada peningkatan yang stabil dari kelompok dukungan daring selama pandemi bagi orang-orang yang berjuang dengan parosmia, phantosmia, dan anosmia.

Orang biasanya cenderung pulih dari parosmia dan phantosmia dengan cukup cepat karena saraf yang rusak memperbaiki dirinya sendiri. Satu studi menemukan bahwa lebih dari separuh partisipan cenderung memperbaiki atau sepenuhnya memulihkan kemampuan mengenali bau dan rasa setelah sekitar satu bulan.

Hanya saja, pemulihan indra secara sempurna setelah infeksi dapat memakan waktu rata-rata antara dua dan tiga tahun serta hanya ada sedikit pilihan pengobatan, salah satunya dengan metode pembedahan yang jarang menjadi pilihan. Menurut Healthline, seng, vitamin A, dan antibiotik terkadang juga diresepkan untuk mengobati gangguan penciuman ini.

Lebih banyak penelitian sedang dilakukan tentang dampak Covid-19 pada indra penciuman, termasuk oleh Konsorsium Global untuk Penelitian Kemosensori yang bertujuan untuk menemukan hubungan pasti antara penyakit pernapasan, seperti infeksi virus corona jenis baru dan pengaruhnya terhadap bau serta rasa.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement